Ilustrasi : Alvianta Virgosa

Ada apa dengan Universitas Airlangga?, mahasiswa sekaan dikurung dengan kenyamanan-kenyaman fasilitas yang ada. Mereka hanya dituntut untuk belajar dan magang untuk memenuhi kebutuhan pasar industri. Mereka tidak diajarkan untuk peka terhadap fenomena sekitar. Sementara tembok-tembok beton yang dibangun menjulang tinggi dan megah itu seperti batas pemisah antara mahasiswa dan rakyatnya”.

Universitas Airlangga saat ini begitu getol dengan pembangunan insfrastruktur. Itu dapat dibuktikan dengan adanya pembangunan Airlangga Tower, Gedung Warna-Warni, Food Court, Amphy Theater, Gedung Parkiran, dan lain-lain. Pembangunan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberi kenyamanan bagi mahasiswa sekaligus untuk mengejar menjadi kampus terbaik di tingkat nasional maupun internasional. Namun, yang sangat disayangkan dari pembangunan yang masif ini adalah pembahasan terkait korelasi pembangunan dengan Hak Asasi Manusia yang terlupakan.

Berkenaan dengan pembangunan yang begitu masif di lingkungan kampus. Beberapa minggu yang lalu saya mendengar Pedagang Kaki Lima (PKL) yang biasanya berjualan di Kampus B dilarang masuk. Setelah saya telusuri dengan berdiskusi bersama beberapa civitas akademika, ternyata terdapat sebuah kebijakan yang melarang PKL masuk ke dalam kampus.

Dalam suatu wawancara dengan pimpinan keamanan kampus menjelaskan bahwa terdapat dua alasan mengapa PKL tidak boleh masuk ke dalam kampus. Pertama, Penertiban Kampus, di mana tiap-tiap kantin di masing-masing fakultas dihapuskan, dan saat ini seluruh kantin di Kampus B menempati tempat yang sama, yaitu Kantin Warna-Warni. Otomatis seluruh kegiatan jual beli seperti PKL yang tidak menyewa stand di kampus B dilarang masuk.

Kedua, Mencegah kecemburuan sosial, pihak rektorat melarang adanya jual beli yang dilakukan di luar kantin warna-warni. Itu dilakukan untuk mencegah kecemburuan sosial dari para pedagang yang sudah menyewa stand. Sebab dirasa PKL yang masuk tidak membayar stand tapi masih bisa berjualan di dalam kampus.

Mengulik sedikit terhadap permasalahan ini, pelarangan masuknya PKL bukan tanpa alasan. Dalam suatu wawancara dengan salah satu civitas akademika menjelaskan bahwa selain dua alasan tersebut, saat ini kampus Universitas Airlangga yang menduduki peringkat ke-369 dunia, sedang berlomba-lomba mengejar menjadi 100 besar kampus terbaik di dunia. Otomatis terdapat beberapa sektor yang harus diperbaiki untuk mempertahankan serta meraih peringkat dunia, terutama mengenai ketertiban, kebersihan dan keindahan kampus.

Dalam ambisi tersebut, Unair seakan lupa dengan apa yang biasanya diajarkan di kelas tentang pembangunan yang humanis. Sependek pengetahuan saya, paradigma humanisme dalam pembangunan sendiri berbicara tentang penekanan nilai-nilai kemanusiaan, yakni etika, moralitas, dan tujuan pembangunan. Artinya arah pembangunan itu sendiri adalah etika, bukan hanya perkara mengejar ambisi pribadi atau kelompok saja.

Konsep humanis juga berbicara mengenai pembangunan yang harus menghormati hak-hak manusia di dalamnya. Pembangunan yang dilakukan haruslah demokratis, beretika, dan berupaya memenuhi kepentingan seluruh pihak. Jadi, pembangunan tidak hanya mengkalkulasi untung dan rugi bagi kelompok tertentu, namun juga distribusi hak seluruh kelompok.

Mengacu pada kasus PKL yang dilarang masuk ke dalam kampus B Unair, hak mahasiswa dalam pemenuhan kebutuhan makan dan minum pada sore-malam hari tidak terpenuhi. Sebab kantin warna-warni yang menjadi kantin utama mahasiswa kampus B hanya buka pukul 08.00 dan tutup pukul 17.00. Sedangkan mahasiswa kampus B yang terkenal menggunakan kampusnya untuk berdiskusi, rapat, atau sekadar menikmati romantisme kampus digunakan hingga malam hari.

Selain itu, Unair juga memotong hak masyarakat (PKL) untuk masuk ke dalam kampus B. Padahal Unair sendiri telah meratifikasi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 Pasal 9 ayat  (1) tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Tentu dalam fenomena ini Unair telah melanggar hak PKL dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Dalam hal ini seakan terdapat kontradiksi besar terhadap nilai-nilai yang dipegang oleh Unair selama ini, yaitu Excellent With Morallity. Pembangunan yang tidak berlandaskan aspek-aspek kemanusian adalah tidak bermoral. Sebab hanya memikirkan ambisinya dalam mengejar menjadi kampus terbaik tanpa memperhatikan kebutuhan dari mahasiswa maupun masyarakat di sekitar lingkungannya.

Dengan dilarangnya PKL masuk ke dalam kampus B menandakan bahwa apa yang selalu dinarasikan oleh dosen menimbulkan kontradiksi di lingkungan Unair sendiri. Unair sekarang malah seperti institusi elitis yang membangun tembok besar untuk memisahkan diri dari masyarakat. Pembangunan yang humanis hanyalah sebuah teori yang disusupkan ke dalam pikiran mahasiswa tanpa ada implementasi di lingkungannya sendiri secara nyata.

Penulis : Alvianta Virgosa

Editor : Primanda Andi Akbar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.