Sumber: Istimewa

Kabar duka memang tidak pernah berhenti untuk menghampiri. Orang-orang yang kita kenal, ataupun keluarga mereka satu per satu kembali ke Khalik, tidak berduyun-duyun datang dan berduyun-duyun pula kembali pulang layaknya pasar malam seperti ucapan si Tionghoa dalam novel Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam. Terakhir, saya mendapat kabar meninggalnya Pak Darman, penjual makanan ringan dan rokok di lingkungan Kampus B Unair, meninggal pada Rabu (17/2) di Nganjuk, kampung halamannya. 

Pak Darman, nama aslinya Sudarman, memang bukan bagian dari civitas akademika Unair. Mereka yang tahu almarhum mungkin hanya kalangan mahasiswa FISIP dan FIB Unair, karena dua tempat itulah menjadi tempatnya mencari nafkah. Tapi jangan salah, namanya begitu harum bagi mereka. Begitu kabar Pak Darman telah tiada, kolega—alumni dan mahasiswa aktif—kontan mengunggah foto kenangannya di Instagram pun di status Whatsapp. 

Saya berani bertaruh tidak ada civitas akademika FISIP yang tidak tahu beliau, kecuali mungkin mahasiswa angkatan 2020 yang belum pernah merasakan atmosfer kampus sebelum pandemi. Dekan boleh berganti, tapi Pak Darman tetap berjualan lima hari dalam seminggu hampir tanpa pernah cuti. Ia biasa berangkat berjualan dengan berjalan kaki hampir 6 km dari kosnya di daerah Mulyosari ke Kampus B Unair. Pulangnya, terkadang ia menebeng mahasiswa.

Caranya menawarkan dagangan begitu khas. Ia biasa mengelilingi lorong-lorong Galeri FISIP sambil berteriak “Jan-jajan. Rokok-rokok. Ngombe-ngombe,” diiringi senyum dan sapaan “Mas Ganteng, Mbak Cantik.” Jika lelah, ia hanya duduk menunggu pembeli di salah satu dari empat sektor pintu masuk Gedung A FISIP. Kadang pula, ia menawarkan dagangannya di kawasan Kantin FIB atau Koperasi Fakultas Psikologi.

Hubungan saya dengannya mungkin sekadar hubungan penjual-pembeli pada umumnya. Saya sering membeli dagangannya—rokok, air mineral botol, dan jajan. Setiap kali bertemu, ia pasti mengenali saya dan langsung menawarkan dagangannya, tapi jika diminta menyebut nama saya, mungkin ia akan lupa-lupa ingat. Tapi ada satu hal spesial yang dimilikinya dalam amatan saya: ia menempatkan pembeli sebagai teman. Setiap sehabis membeli dagangannya, rasanya tidak afdal tidak mengobrol dengannya jika tidak terburu-buru mengejar agenda lainnya. Bercengkerama dengannya adalah hal yang menyenangkan.

Pak Darman suka bercerita, walaupun topiknya tidak seluas mahasiswa Filsafat. Biasanya ia bercerita tentang pengalamannya berjualan, atau istri dan empat anaknya yang tinggal di Nganjuk. Saat bercerita tentang anaknya, ada satu keinginan Pak Darman yang sempat ia ceritakan kepada saya, dan ternyata hampir sembilan tahun yang lalu pernah ia sampaikan pada orang lain. “Ndelok arek-arek iki pinter-pinter, aku pengen engkok anakku isok mlebu kene.” Lihat mahasiswa-mahasiswa ini pintar-pintar, aku ingin anakku nanti kuliah di sini (FISIP).

Terkadang, ia menyinggung agenda yang sedang ramai di FISIP, seperti Pemira, atau aksi mahasiswa. Namun, topik yang tak pernah ketinggalan untuk ia ceritakan adalah omzet penjualannya. Tidak melulu berita positif soal omzetnya yang ia kabarkan. Mahasiswa yang sedang bokek pun sering berutang padanya. Namun, untung atau rugi jualannya, ia tetap murah senyum dan melemparkan canda. Ia menyuntikkan atmosfer kebahagiaan bagi orang-orang di lingkungan FISIP. Pokoke ngguyu.

Kepribadian Pak Darman mengingatkan saya pada kutipan favorit penulis ternama Amerika, Ernest Hemingway, dalam surat-surat pribadi dan buku-buku yang ia tandatangani khusus teman-temannya, il faut (d’abord) durer yang berarti “di atas segalanya, kamu harus bertahan.” Jika Hemingway pada akhirnya menyerah pada gangguan depresi dan kemudian membedil kepalanya sendiri dengan senapan berburu favoritnya, Pak Darman masih tersenyum dan tertawa walau ia tak tahu apakah omzet yang ia dapat hari itu nantinya dapat mencukupi ia dan keluarganya.

Sosok Pak Darman itulah yang  membuatnya mendapatkan tempat di hati civitas akademika FISIP. Gita Ayudevi, alumni FISIP bercerita tentang pengalamannya hampir empat tahun yang lalu saat menyalurkan donasi THR untuk Pak Darman yang digagas Kementerian Pengmas BEM FISIP. “Kita dapat nominal yang besar banget, baik dari alumni atau teman-teman … terus aku baca kesan pesan dari donatur itu positif banget. Nah, dari situ kan kelihatan kalau Pak Darman orangnya baik banget.”

Pemilik akun Twitter @afianditomuda bercerita Pak Darman adalah sosok yang tidak pernah melalaikan kewajiban beribadah meski tengah bekerja. “Setiap waktu sholat tiba ia selalu menuju mushola fisip unair dan meninggalkan dagangannya begitu saja di sudut2 galeri fisip,” tulisnya.

Sosok Pak Darman juga punya kenangan tersendiri bagi Hadit Fikri, yang juga alumni FISIP. Ia ingat betul ketika tahun pertama perkuliahan ditugasi sebagai seksi dana usaha kepanitiaan Ospek jurusan, ia merasa sungkan karena telah “menganggu” wilayah jualan Pak Darman. “Ternyata setelah ngobrol, dia (Pak Darman) bilang, ‘Enggak apa-apa, jual aja sini,’” ceritanya. Seingatnya, Pak Darman suka membeli minuman Gurin yang ia jual saat itu.

Pak Darman juga menjadi sosok pahlawan bagi sebagian orang. Nimas Ayu, alumni FISIP lainnya, jadi salah satu yang pernah dibantunya. “Waktu buru-buru ngejar dosbing mau minta tanda tangan proskrip, terus tahunya (aku) kepeleset di lantai dua dekat kantor Departemen (HI). Yang pertama nolongin pas itu Pak Darman,” ceritanya.

Tidak hanya mahasiswa FISIP, Pak Darman juga mendapat tempat tersendiri di hati orang-orang luar FISIP. Salah satunya pemilik akun Twitter @Chupell88. Aku alumni arek UPN tapi lek dolen nang Unair mesti marani wong iki. Lek guyon suarane banter. Husnul Khatimah.” Aku alumni UPN, tapi kalau main ke Unair pasti menemui orang ini. Kalau bergurau suaranya keras. Husnul Khatimah.

Sedangkan pemilik akun @EllaPutri13 punya cerita lain. “Innalillahi wa innailaihi rojiun. Bukan anak uner tapi sering bgt rapat di fisip smp malem, dan bapak ini jd pahlawan di kala lapar melanda. Semoga diterima di sisiNya.”

Tapi kenangan-kenangan di atas bukan tidak mungkin akan terlupakan dalam waktu singkat. Pak Darman tidak punya media sosial yang bisa menjadi “museum” peninggalan semasa hidupnya. Jika saja ia punya Facebook, orang-orang terdekatnya bisa meminta Facebook untuk menandai akunnya dengan menambahkan tulisan “remembering” atau “mengenang.”

Mati dan terlupakan adalah hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Apalagi jika kamu hanya orang biasa, yang sehari-hari hanya berpikir bagaimana caranya bertahan hidup memenuhi kebutuhan primer. Dan Pak Darman adalah bagian dari kategori tersebut. Toh jika aktivitas kampus kelak normal kembali, akan ada pedagang-pedagang lain yang menggantikan kehadirannya.

Maka, saya menulis obituari ini sebagai upaya terakhir kita merawat kenangan tentang beliau. Biasanya obituari dikhususkan untuk orang-orang yang dianggap ternama, tapi bagi saya Pak Darman adalah orang biasa yang layak kita kenang dalam obituari ini. Pak Darman semasa hidupnya tidak pandai membuat kutipan-kutipan inspiratif, tapi senyumnya dan semangatnya menantang kejamnya kehidupan yang kapitalistik adalah sesungguh-sungguhnya inspirasi.

Sugeng tindak, Pak Darman.  

Tentang Penulis:
Muhammad Faisal Javier Anwar biasa dipanggil Faisal, lulus dari Hubungan Internasional (HI) FISIP Unair pada tahun 2019. Pernah belajar jurnalistik di LPM Mercusuar Unair. Sekarang menjadi content writer, copywriter, dan penerjemah lepas walau lebih banyak menganggurnya. Tulisan-tulisannya bisa dijumpai di blognya atau portofolionya. Faisal aktif di Instagram dan Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.