(Sumber gambar: Absud.Design)  

Pagi ini aku terbangun karena keributan di rumahku. Padahal ini hari minggu, seharusnya aku bisa bangun sedikit lebih siang. Adikku juga terlihat belum dimandikan oleh ibu. Mungkin beliau kelelahan karena sedang hamil tua. Aku mencari bapak dan ibu di belakang rumah. Mereka terduduk dengan lemas dan wajah pucat.

“Ada apa tadi teriak-teriak?” tanyaku.

“Rumah kita didatangi maling tadi malam,” jawab Bapak seadanya.

“Serius? Bapak dan Ibu yakin? Semalam aku tidur larut tapi tidak mendengar apa-apa, kok,” sanggahku tidak percaya.

“Kamu lihat sendiri itu pekarangan kita hancur seperti itu. Baru minggu kemarin aku menanam bayam biar bisa lebih hemat untuk keperluan makan kita, telur dan ayam-ayam kita juga lenyap.” Ibu menjawab dengan sedikit emosi.

Kira-kira seperti itu penyebab aku berada di kantor polisi sekarang. Tadi malam rumahku disatroni maling. Uang tabungan yang dikumpulkan orang tuaku sejak akhir tahun raib dibawa maling sialan. Padahal uang tersebut disimpan untuk liburan keluarga merayakan adikku yang masuk SD tahun ini. Karena adanya pandemi yang sampai sekarang masih belum ada tanda-tanda membaik, keluargaku harus menunda rencana tersebut. Adikku yang kemudian tahu rumah kami disatroni maling tidak berhenti menangis. Dia tau jika uang tabungan orang tuanya hilang, mimpinya sejak setahun lalu untuk pergi liburan akan semakin menemui ketidakjelasan. Selain itu, uang tabungan tersebut juga akan digunakan untuk biaya persalinan ibuku. Saat ini beliau hamil delapan bulan. Seharusnya bulan depan beliau melahirkan. Terlihat bapak bingung dan sedih sekali, air mukanya tampak keruh. Pasti sekarang dia sedang berpikir bagaimana bisa memenuhi biaya persalinan ibu. Gajinya dua bulan sebagai pegawai rumah makan tidak akan cukup untuk membayar biaya operasi persalinan ibu. Aku juga sangat sedih.

Sekarang di depanku ada seorang polisi yang tampangnya menyebalkan. Sebenarnya ini penilaian subjektif karena dari tadi dia ketus sekali. Tapi ya, dia memang menyebalkan. Aku dan keluargaku tiba di kantor polisi sejak satu setengah jam yang lalu, namun baru sekarang kami dimintai keterangan.

“Apa yang membuktikan uang Bapak dan Ibu dicuri? Memangnya ada saksi mata selain keluarga kalian yang mengetahui di mana kalian menyimpan uang?” orang di depanku bertanya sambil matanya mendelik.

“T-tidak. Kami menyimpan uang itu baik-baik.”

“Menyimpan baik-baik kok bisa bilang diambil maling.”

“Lalu bagaimana Pak?” jawab Bapak sudah pasrah, dia terlihat cemas karena sebentar lagi jam jaganya mulai, jika telat datang gajinya pasti dipotong.

“Ya sudah. Kalian kan tidak punya bukti uang kalian yang hilang berapa, disimpan di mana. Makanya, kalau nyimpan uang itu di bank! Zaman sekarang kok nyimpan uang di bawah bantal.”

“Kami menyimpannya di lemari, Pak. Kalau untuk bukti, Bapak bisa lihat halaman belakang rumah kami berantakan.”

“Kalau halaman rumah berantakan ya laporannya ke tukang kebun! Biar dibenerin. Bukan ke saya!” jawabnya sambil membuka pintu ruangan sebagai tanda kami dipersilahkan untuk segera pergi dari tempat itu.

Aku hanya bisa menautkan alis sepanjang mendengar percakapan mereka. Aneh. Apa memang seperti itu cara kerjanya?

Karena tidak mendapatkan solusi, kami memutuskan untuk pulang. Bapak tidak ikut pulang bersama kami. Beliau langsung menuju tempat kerjanya karena waktu masuk kerjanya sudah mepet sekali. Kata Bapak, jika terlambat datang, selain dipotong gaji beliau juga bisa beresiko diberhentikan.

Sepanjang perjalanan pulang di angkot aku terus mengomel tentang kejadian di kantor polisi. Tentang maling yang datang ke rumahku.

“Memangnya, kalau lapor-lapor begitu harus ada bukti fotonya, Bu? Terus kalau nggak ada fotonya kasusnya jadi nggak valid?” aku masih penasaran dengan hal yang baru saja aku saksikan.

“Kadang yang ada bukti fotonya pun dianggap rekayasa dan nggak valid. Nggak taulah, Ibu nggak paham bagaimana cara kerjanya.” Jawaban ibu terdengar seperti orang yang risih dan enggan ditanyai.

“Aneh. Lebih aneh lagi bisa-bisanya maling datang ke rumah kita! Rumah kita kan jelek, sudah pasti yang punya miskin. Tidak punya apa-apa. Kok tega maling ke rumah kita. Mentang-mentang rumah kita pagarnya cuma kayu. Kalau berani maling ke rumah pejabat di jalan utama sana. Pasti dapatnya banyak! Mereka kalau kehilangan pasti bisa cepat dapet gantinya! Kan bisa kor-“

“Husss!! Kok malah jadi ngomongin orang! Nggak boleh begitu. Ini musibah keluarga kita. Kamu ngomong seperti itu berarti mendoakan yang enggak-enggak.” Ibu memotong omonganku.

“Ya biarin. Lagipula kok bisa tadi malam aku nggak denger apa-apa. Padahal aku baru tidur jam dua. Ibu yakin itu maling?” aku menoleh ke ibu.

“Kalau kamu denger terus mau ngapain? Kalau ternyata malingnya banyak orang malah bahaya nanti diapa-apain. Sudah bagus kita semua selamat. Kamu lihat kan tadi kebun belakang rumah kita seperti apa berantakannya. Nggak mungkin itu kalo cuma 1-2 orang.”

“Hmm … kalau aku denger ada suara-suara kan aku bisa jaga-jaga, atau aku bisa telepon polisi! Eh, tapi apa polisinya percaya ya? Jangan-jangan nanti aku disuruh kasih bukti foto selfie sama malingnya? Hiiii…” aku bergidik ngeri.

“Hussshh!! Sudah jangan ngomongin yang begituan di luar rumah. Bahaya nanti kalau ada orang lain yang dengar.” Ibu mencegah aku bicara lebih panjang.

Sebenarnya aku kurang begitu mengerti apa maksud ibu berbahaya bicara seperti itu di luar rumah. Aku tidak bicara kotor atau bicara yang tidak-tidak. Oh tadi bicara yang tidak-tidak sih, tetapi hanya sedikit. Namun aku putuskan untuk berhenti berbicara karena sebentar lagi angkot yang kami tumpangi akan sampai di gang depan rumah.

Matahari sedang terik-teriknya ketika aku dan ibu berjalan menuju rumah. Ibu mengeluh punggungnya sakit, dia menyuruhku untuk mampir ke rumah tetangga menjemput adik yang tadi dititipkan. Tepat ketika aku hendak berpamitan setelah berhasil membujuk adikku untuk pulang, aku mendengar teriakan yang berasal dari arah rumahku. Aku yakin sekali sumber suara tersebut adalah suara ibuku. Dengan setengah berlari aku tergesa menuju rumah. Aku berteriak memanggil ibu dari depan pagar. Tidak ada jawaban. Aku langsung menuju kamarnya dan tidak menemukan apa pun. Lalu terdengar suara jeritan adikku dari belakang rumah. Kutemukan ibuku tergeletak jatuh di tanah. Tepat di depannya terdapat sekawanan tikus yang berukuran sebesar babi sedang menggerogoti uang yang sepertinya uang tabungan keluargaku. Beberapa tikus yang lain sibuk memakan sisa kebun yang sudah mereka rusak tadi malam.


Penulis:Diana Kusumaningrum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.