Sumber Gambar: Unsplash

Isu kekerasan seksual masih menjadi pekerjaan rumah bersama bagi perguruan tinggi di Indonesia. Problematika kasus kekerasan seksual menjadi pembahasan umum di ruang diskusi pada setiap sudut-sudut kampus. Bahkan, kasus kekerasan ataupun pelecahan seksual masih banyak terjadi di lingkungan kampus-kampus besar. Padahal kampus-kampus besar di Indonesia seharusnya bisa menjadi teladan bagi kampus lain.

Ironinya, problematika yang erat kaitannya dengan relasi gender ini cenderung menjadi bumerang bagi korban yang berusaha mencari keadilan karena tidak jarang korban justru menjadi pihak yang disalahkan. Tentu saja hal ini memiliki akar budaya yang masih saja langgeng di masyarakat, bahkan di lingkungan akademis sekalipun. Akar budaya usang tersebut bernama budaya patriarki.

Dalam perjalanannya, kasus kekerasan seksual ataupun pelecehan seksual kerap dialami oleh perempuan sebagai korban, meski tak jarang juga laki-laki menjadi korban kasus tersebut. Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) Pasal 1 Tahun 2016, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Secara terminologi, kekerasan seksual merupakan suatu tindakan berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai serta membuat orang lain terlibat dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki oleh orang lain tersebut. Kekerasan seksual adalah setiap tindakan penyerangan yang bersifat seksual yang ditujukan kepada perempuan, baik yang bersifat fisik atau nonfisik dan tanpa memperdulikan ada atau tidaknya hubungan personal antara pelaku dengan korban (Hanifa, 2018: 36).

Kekerasan seksual memiliki berbagai macam bentuk, salah satunya ialah pelecehan seksual. Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat sekarang ini menjadi biang keladi dari problematika kasus-kasus kekerasan seksual, opresi berbasis gender yang mensubordinasi perempuan secara hegemonik ini membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan atapun pelecehan seksual, tentunya relasi kuasa ini perlu kita pahami bersama sebagai sesuatu yang salah di masyarakat kita.

Indonesia saat ini masih hangat membicarakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang telah diusulkan ke dalam parlemen. RUU-PKS diinisiasi oleh Komnas Perempuan dan masuk kedalam prioritas Prolegnas sejak 2014 hingga prioritas Prolegnas 2020. Namun, pada bulan Juni 2020, RUU yang secara substansi menjadi jawaban penyelesaian kasus kekerasan seksual ini, justru dikeluarkan dari prolegnas 2020 karena dianggap sulit dibahas. Di sisi lain, pemerintah dengan mudahnya justru meloloskan UU Minerba dan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang masih pro dan kontra karena dianggap mengesampingkan hak-hak rakyat.

Komnas Perempuan ditengah Pandemi Covid-19 mencatat adanya peningkatan pada angka kekerasan seksual. Angka terbesarnya merupakan kekerasan seksual ditingkat domestik atau rumah tangga dan kekerasan seksual berbasis siber. RUU PKS yang sejatinya sangat krusial ditengah masyarakat justru dicabut dalam program prioritas, lalu bagaimana pada ruang akademis?

Benarkah Ruang Akademis Tak Ramah Gender?              

Friedrich Engels secara elaborasi telah memaparkan bagaimana hegemoni yang dikonstruk masyarakat patriarki melalui historis-antropologis dengan akar determinasi ekonomi sebagai basisnya. Mulai dari masyarakat komunal yang awalnya egaliter hingga bergeser menjadi masyarakat feodal sampai masyarakat kapitalisme yang dengan terang-terangan menciptakan dan melanggengkan budaya patriarki. Hal ini memiliki korelasi dengan bagaimana kasus-kasus kekerasan seksual terjadi di masyarakat kita sekarang ini, termasuk bagaimana ketika kasus-kasus kekerasan seksual terjadi di lingkup akademik setingkat perguruan tinggi.

Sistem pendidikan di Indonesia memiliki peran yang berpengaruh signifikan. Komersialisasi pendidikan yang memodifikasi pendidikan membuat ruang-ruang akademis yang seharusnya ramah terhadap gender, justru tidak memiliki porsi dalam lingkup akademis. Hal tersebut terjadi karena kepentingan berorientasi profit menjadi fokus utama di pendidikan kita sekarang ini.

Berawal dari kerjasama antara Indonesia dengan kongsi dagang dunia bernama WTO (World Trade Organization) yang menghasilkan perjanjian GATS. Perjanjian GATS berimplikasi dalam meliberalisasi berbagai sektor publik di Indonesia, termasuk sektor pendidikan hingga muncul UU-PT 2012 dengan substansinya berbicara mengenai otonomi kampus. Sifat kampus yang mulanya ilmiah kini bergeser menjadi pelayan yang menciptakan inovasi bagi pasar investor. Sistem pendidikan semacam ini akan menggerus porsi kesadaran akan keadilan gender di lingkup ruang-ruang akademis.

Penyelesaian kasus kekerasan seksual ataupun pelecehan seksual selalu berhenti karena faktor birokrasi. Hal ini dipengaruhi oleh relasi kuasa yang menguntungkan para pelaku dan mengesampingkan hak-hak korban. Hal ini didasari atas nama baik kampus dan tidak ada regulasi yang jelas karena jika dianalisis secara mendalam, pengambil kebijakan di perguruan tinggi bersifat bias gender. Hal ini umumnya dikarenakan pengambil kebijakan didominasi oleh laki-laki yang secara wawasan dan perspektif kurang objektif ketika berbicara mengenai problematika kekerasan berbasis gender, sehingga hak-hak korban terabaikan.

Kasus-kasus yang dialami oleh korban kekerasan seksual di perguruan tinggi seperti kasus Agni di UGM, kasus pelecehan di UI, hingga kasus di Unair yang terjadi pada bulan Maret 2020 kemarin sempat ramai dibicarakan.

Bulan Maret 2020, Universitas Airlangga mendapati fenomena dimana dalam ruang akademis pada rentang waktu yang berdekatan telah terjadi kasus pelecehan seksual yang menimpa beberapa korban yang mayoritasnya perempuan. Namun, dalam penyelesaiannya selalu saja tidak menguntungkan para korban. Contohnya, kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah satu mahasiswa Unair di kampus B. Pelaku merupakan staff birokrasi Unair. Alih-alih memberikan pendampingan, kampus justru melakukan penekanan terhadap korban dan cenderung menyalahkan korban. Pihak kampus memaksa korban untuk menghapus thread di laman twitter dengan dalih atas nama baik kampus. Korban menggunakan thread tersebut sebagai wadah untuk mengadu karena korban merasa kebingunan tidak ada wadah untuk melakukan pengaduan terhadap kasusnya. Pendamping korban ketika diwawancarai oleh tim LPPM Mercusuar mengatakan bahwa pihak kampus kebingungan ingin menyelesaikan kasus ini seperti apa karena tidak ada regulasi yang mengatur tentang kasus tersebut, khususnya di dalam lingkup kampus.

Bahkan budaya menyalahkan korban seperti ini seakan menjadi sesuatu yang wajar di masyarakat kita bahkan didalam intitusi pendidikan sekalipun. Mengingat kembali kasus Gilang, predator fetish kain jarik, bagaimana nasib rehabilitasi korban-korbannya ? Hal-hal seperti inilah yang patut kita pahami bersama, sehingga problematika seperti ini tidak hanya berhenti diruang-ruang diskusi, namun perlu melangkah jauh ke depan. Semisal kita bisa melakukan agitasi dan propaganda mengenai wacana-wacana lingkungan akademik, maka sangat penting untuk mewujudkan ruang akademis yang berkeadilan gender dan ramah gender. Hal ini bersamaan dengan pengawalan penyusunan Permendikbud terkait isu kekerasan seksual yang dicanangkan Kemendikbud.

Melalui ruang-ruang diskusi kesadaran gender, selanjutnya kita bisa membentuk suatu wadah yang menaungi hal semacam ini. Mungkin dapat diawali melalui rekonsolidasi divisi pemberdayaan perempuan pada Badan Eksekutif Mahasiswa dengan cara mempertegas substansi tugas pokok dan fungsinya kearah pemberdayaan perempuan dan isu mengenai kekerasan berbasis gender. Dengan cara tersebut, kesadaran gender dapat terbentuk secara mengakar di lingkup mahasiswa itu sendiri, atau kita bisa membentuk suatu wadah kolektif yang menangungi hal ini seperti suatu posko pendampingan dan rehabilitasi korban kekerasan seksual di lingkungan akademik dan mendirikan semacam (LBH Mahasiswa) Lembaga Bantuan Hukum yang fokus terhadap advokasi kasus kekerasan seksual atau kasus lainnya.

Pasca kita tuntas dalam pengorganisiran tersebut, kita bisa mengupayakan bagaimana arah pengorganisiran ini agar melangkah lebih progresif lagi. Perlu desakan pada pihak birokrasi kampus secara litigasi atau nonlitigasi untuk memunculkan suatu regulasi yang substansinya berbicara mengenai penuntasan kasus kekerasan seksual, serta menerapkan prinsip-prinsip kampus yang berkeadilan gender dan ramah terhadap siapapun tanpa memandang ras, latar belakang keluarga ataupun orientasi seksual.

Tentunya sudah banyak pelbagai teori emansipatoris yang mencoba membedah budaya usang patriarki yang selama ini menjadi akar dari kekerasan seksual. Semacam gagasan feminisme yang dengan tegas ingin meruntuhkan opresi berbasis gender. Akan tetapi, fragmentasi dari ide-ide feminisme telah berkembang dari berbagai macam gelombang membuat kita kebingungan melakukan konstekstualisasi dengan budaya di Indonesia sendiri. Namun, kesadaran gender yang berprinsip keadilan tentunya dapat diperjuangkan melalui teori-teori yang tepat, tentunya dengan aksiologi atau praksis di dalamnya. Pelaku kekerasan seksual tidak pernah pandang bulu, hari ini mereka menjadi korban, bisa saja besok kalian atau orang-orang terdekat kalian menjadi korban. Selama ruang aman itu belum terbentuk, maka mulailah organisir dirimu dan kawan-kawan di sekitarmu.

Referensi:

Engels Frederich. 2004. Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Terj. Joesoef Isak. Jakarta: Kalyanamitra.

Hanifah Amira Siti. 2018. Wacana Kekerasan Seksual di Dunia Akademik Pada Media Online. Skripsi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Komnas Perempuan. 2020. Pernyataan Sikap Tentang Penundaan DPR RI pada Pembahasan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas 2020. url: https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-pernyataan-sikap-tentang-penundaan-dpr-ri-pada-pembahasan-ruu-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual-dalam-prolegnas-2020-1-juli-2020 . Diakses 10 Maret 2021.

Subkhan Edi. 2016. Pendidikan Kritis: Kritik atas Praksis Neoliberalisasi dan Standarisasi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Penulis: Muhammad Andy Dava (Mahasiswa Ilmu Sejarah)
Editor: Astri Irmaulidiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.