(Sumber Gambar : Portonews.com)

“Demokrasi” dan “Pancasila” yang kita pelajari dan pahami sejak sekolah dasar kini menimbulkan tanda tanya. Di manakah eksistensinya? Saya mencarinya ke sudut-sudut rumah sampai jalanan, tapi tak kunjung ditemukan. Di mana sih yang dikatakan oleh rakyat, untuk rakyat, dan dari rakyat? Toh rakyat tidak mendapatkan apa yang disebut “untuk rakyat”. Di mana pancasila yang menginterpretasikan budaya Indonesia? Tidak ada kesatuan dan kemusyawaratan, tidak ada keadilan bagi seluruh rakyat. Yang rakyat rasakan hanya kesetaraan, itu pun masih remang-remang.

Pada umumnya apabila mendengar “Demokrasi Pancasila” maka yang terpikirkan adalah bagaimana suara rakyat yang dilandaskan oleh budaya pengampunya diolah melalui mekanisme politik yang diatur dalam peraturan negara. Namun, gagasan tersebut hanya imajinasi belaka apabila dilihat dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Ditinjau melalui kasus pada 2019 di mana rakyat Indonesia menolak adanya upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK yang mengakibatkan demonstrasi pecah dan menelan korban jiwa sebanyak 5 orang dan 232 lebih orang yang terluka berdasarkan laporan merdeka.com pada Kamis (17/10/2019). Kini, UU Cipta Kerja yang menjadi perhatian masyarakat Indonesia turut membuktikan sikap acuh pemerintah terhadap pendapat rakyat. Apabila saya perhatikan sejak awal muncul gagasan bahwa undang-undang tersebut sebenarnya telah mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Dalih menarik investor dan terbukanya lapangan pekerjaan tidak cukup untuk dijadikan pembenaran atas keluarnya UU Cipta Kerja yang berpotensi merugikan para buruh dan merusak lingkungan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Mas Dave, Dosen Antropologi Sosial Universitas Indonesia dalam unggahan Instagram Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) pada Kamis (8/10/2020), “UU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. UU ini mereduksi potensi manusia Indonesia yang (seharusnya) merdeka menjadi sekadar buruh murah yang bisa ditekan dan dibuang kapan saja (disposable). Selain itu, UU ini juga memberi insentif bagi pengusaha untuk mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap kepentingan sosial bersama dan lingkungan hidup.” Kompas.com pada Selasa (6/10/2020), merangkum beberapa pasal kontroversial dalam RUU Cipta Kerja yang dianggap dapat membahayakan posisi pekerja, di antaranya pasal 59, pasal 79, dan pasal 88 pada klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja.

Dengan demikian, menjadi jelas apabila respon masyarakat dengan tegas menolak hadirnya gagasan ini karena dirasa akan sangat merugikan dan rawan terjadinya eksploitasi. Tapi apa yang dilakukan oleh pemerintah dan wakil rakyat? Bukannya mendengar apa yang telah dilantunkan oleh rakyat, sebaliknya mereka “tancap gas” guna merealisasikan UU ini dengan alasan naiknya angka penularan Covid-19 di Indonesia. Hal ini dilansir dalam artikel yang diunggah oleh CNN Indonesia pada Senin (5/10/2020), bahwa Badan Perumus (Bamus) telah menyepakati untuk mempercepat penutupan masa sidang dikarenakan tingginya laju Covid-19 di DPR. Kembali lagi saya ulangi bahwa sebenarnya rakyat telah menolak hadirnya UU ini, lantas mengapa respon atas penolakan tadi justru berupa ketidakacuhan? Di mana letak demokrasi yang selama ini menjadi narasi politik pemerintah? Di mana letak pancasila yang telah menjadi sarapan rakyat sejak beranjak ke sekolah? Pada titik inilah saya rasa “Demokrasi” dan “Pancasila” sudah tidak bermakna dan menjadi formalitas belaka. Dua kata tadi hanya menjadi bagian dari histori perjalanan bangsa Indonesia saja, yang entah kita (rakyat) atau pemerintah yang gagal dalam mempertahankannya.

Namun, dibalik pendapat saya akan matinya demokrasi pada negeri ini masih tersisa secercah harapan akan bangkitnya keadilan pada negeri ini. Demonstrasi yang hadir sebagai respon kekecewaan masyarakat pada ketidakadilan ini merupakan harapan kecil Indonesia terhadap bangkitnya keadilan yang selama ini mati suri. Akan tetapi, demonstrasi kini dipandang sebagai hal negatif dan memunculkan perilaku anarkis yang brutal. Padahal anarkisme tidak bisa dinilai hanya sejauh mata memandang, tetapi perlu didalami. Colin Ward (Clark, 1978) mendefinisikan anarki sebagai “the absence of government” sedangkan anarkisme adalah “the idea that it is possible and desirable for society to organize itself without government”. Sejalan dengan apa yang didefinisikan oleh Ward, Berkman juga mendefinisikan anarkisme sebagai sebuah kondisi di mana laki-laki dan perempuan bebas juga menikmati kesetaraan dari kehidupan yang teratur dan masuk akal (Berkman, 2001). Tidak ada unsur kekerasan atau kebrutalan dalam definisi anarkisme dan anarki di atas. Untuk itu saya rasa anarkisme muncul sebagai respon atas sikap pemerintah yang absen atau mangkir dari tanggung jawabnya saja. 

 

Referensi:

Berkman, A. (2001). Anarkhisme & Revolusi Sosial. Jakarta: TePLOK PRESS.

Clark, J. P. (1978). ‘What is Anarchism?’, American Society for Political and Legal Philosophy, 19, pp. 3–28.

 

Penulis: Rizqi Akmal Ramadhan
Editor: Prisheila Putri Wardhani

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.