Credit : Google

Penulis : Annisa Fitriani
Editor : Lailatul Fitriani

Kondisi realistik geostrategis Indonesia yang terletak dititik equator antara dua samudera (Pasifik-Hindia) dan dua benua (Asia-Australia), serta dirangkai oleh 95.181 km garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, atau sekitar 70% wilayahnya berupa perairan, Indonesia berpotensi besar sebagai pelapor poros maritim dunia. Narasi tersebut tidak serta merta hadir dan menggaung tinggi, hal ini telah dipaparkan sebelumnya oleh Predisen Joko Widodo pada kampanye Pilpres tahun 2014. Untuk merealisasikan cita-cita itu, Indonesia haruslah maju, sejahtera, dan berdaulat dengan berbasis pada ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim.  Indonesia diharapkan mampu menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari bidang ekonomi, IPTEK, hankam, sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance). Menampik cita-cita bangsa di atas, alangkah baiknya kita mengenal lima pilar dengan programnya masing-masing yang telah dicanangkan guna mendukung wacana Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Pengenalan Narasi dengan Lima Pilar Poros Maritim Dunia

Pada dasarnya terdapat beberapa genre kebijakan dan program utama yang harus direalisasikan guna menunjang Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kebijakan-kebijakan dan program tersebut terdiri dari lima pilar yang dipaparkan oleh Presiden Joko Widodo, diantaranya:

  1. Pilar pertama: Pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.
  2. Pilar kedua: Berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.
  3. Pilar ketiga: Komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
  4. Pilar keempat: Diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan.
  5. Pilar kelima: Membangun kekuatan pertahanan maritim.

Pertanyaannya sekarang, apakah kelima pilar tesebut sudah terealisasi? Jika kita melihat berdasarkan realita di lapangan, masih banyak ditemukan illegal fishing, pemanfaatan sumber daya laut yang belum optimal, dan lain sebagainya. Dari sini kita menyimpulkan bahwa Indonesia belum siap untuk menuju poros maritim dunia, bahkan belum mampu untuk menyejahterahkan rakyat kecil khususnya kaum nelayan di pesisir pantai. Padahal potensi laut Indonesia yang sangat besar memberi berbagai dampak positif seperti budidaya perikanan,  industri bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, industri dan jasa maritim, serta sumber daya wilayah pulau-pulau kecil. Tak hanya itu, program ekonomi kelautan yang lain seperti pembangunan pelabuhan sebagai upaya dari perevitalisasiantol laut serta infrastruktur maritim lainnya, hanya bersifat menghamburkan uang (APBN) saja, bukan menghasilkan pendapatan negara. Padahal kita mengetahui jika membangun pelabuhan tanpa dibarengi dengan pengembangan perekonomian wilayah hanya akan mengakibatkan pelabuhan itu mubadzir. Lantas bagaimana alur perkembangan konektivitas maritim berupa pelabuhan/tol laut sekarang?

Perkembangan Konektivitas Maritim Tol Laut 2015-2019

Prakarsa “Tol Laut” disebut-sebut sebagai salah satu cikal bakal Indonesia menjadi poros maritim dunia yang akan dibangun dari Aceh hingga Papua yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di nusantara. Dengan begitu, hubungan antar pelabuhan laut ini menciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke wilayah pelosok sekali pun. Manfaat dan urgensinya menggiatkan kembali perdagangan laut dalam Indonesia dan upaya promosi gencar produk khas Indonesia ke kancah internasional.

Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan 24 pelabuhan sebagai simpul jalur tol laut. Sebagai pendukung, dibangun pula 47 pelabuhan non-komersil. Target pemerintah sudah terbangun 100 pelabuhan pada tahun 2019. Pemerintah juga menyiapkan kapal untuk mendukung pelaksanaan program tol laut, yaitu 3 unit kapal di tahun 2015 dan ditargetkan akan mencapai 30 kapal untuk dua tahun terakhir. Apakah terealisasi target pembangunan 24 pelabuhan dan 47 pelabuhan non komersial dan penyediaan kapal untuk tol laut? Setelah era pemerintahan Jokowi jadi presiden lebih dari dua tahun, fakta menunjukkan masih jauh dari kata “terealisasi”, bahkan gagal untuk memenuhi target di tahun 2017.

Tak hanya berhenti di situ saja, justru kabar mengenakkan datang sebagai dukungan program tol laut ini. Kemenhub mengklaim, bahwasannya program tol laut telah menurunkan harga barang di kawasan Timur dan Barat antara 20-30%. Pelaksanaan program ini sangat efektif dan berdampak positif terhadap harga barang daerah sasaran. Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK telah membangun dan mengembangkan 150 pelabuhan laut, 50 lokasi pelabuhan penyeberangan. Tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, Kemenhub kembali klaim, terbangunnya tol laut membuktikan adanya penurunan disparitas harga antara 20-40%, sebab hal tersebut sudah dirasakan masyarakat Kabupaten Rote NTT.

Di lain pihak, terdapatasusmsi bahwa tol laut tidak dapat mencapai target atau sasaran, seperti mengkritik program tol laut yangsangat-sangat tidak efektif. Dari sisi waktu operasional terlalu lama. Sekali operasi hingga 23 hari, sementara kapal kompetitor bisnis hanya 7 hari. Kehadiran kapal tol laut ini dengan harapan menekan tingkat harga di daerah. Tapi, jika waktu kedatangannya mencapai 23 hari, maka sama saja, “tidak ada faedahnya”.

Bila ditanya perkembangan tol laut seolah-olah menjadi kebingungan, mengingat konsep dan anggaran yang belum jelas. Deputi Kordinasi Bidang Infrastruktur Komenko Kematitiman Firdaus Manti menyatakan, untuk memenuhi tol laut dibutuhkan belanja modal Rp. 101,7 triliun guna beli kapal kontainer, kapal barang perintis, tanker, cargo hingga kapal rakyat. Anggaran tersebut tidak bisa dipenuhi pemerintah sepenuhnya khususnya dari pengurangan subsidi BBM. Berarti kita sama-sama dapat menyimpulkan bahwa strategi pembangunan Jokowi disini sama sekali tidak konsisten. Mengusung slogan pembangunan maritim, namun yang dibangun dan tereaisasi justru jalan tol di darat. Pembangunan tol laut seakan-akantertinggal, bahkan seperti terabaikan dari janjinya. Sebaliknya, tol darat itu sesuatu yang tidak pernah dijanjikan oleh Jokowi pada saat kampanye Pilpres 2014.

Budaya maritim yang telah lama bersemboyan kokoh di bumi Pertiwi menyadarkan kita sebagai rakyat dan akademisi untuk mengawal dan menuntut apa yang semestinya terwujud demi kelangsungan kesejahteraan perekonomian laut. Sebagaimana kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit terletak pada “laut sebagai tulang punggung, bukan memunggungi laut”. Lantas dimanakah butir-butir janji Jokowi di sektor kemaritiman untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pelapor poros maritim dunia guna memperkuat daya saing Indonesia di pasar mancanegara? Jika kita hanya menganggap hal tersebut berada di tahap wajar lalu pasrah menerimanya, di situlah kita harus menyesuaikan diri dengan realitas baru itu dan membiarkan pengeroposan dalam sendi-sendi bermasyarakat dan bernegara.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.