Ilustrasi : Primanda Andi Akbar

                    Pada era disrupsi seperti saat ini, terdapat banyak gangguan yang dialami oleh buruh dalam masa kerjanya. Terminologi buruh pun mengalami pergeseran, tidak semua orang yang bekerja saat ini tidak mau jika disamakan dengan sebutan ‘buruh’. Mereka lebih suka dipanggil karyawan atau pekerja, padahal definisi buruh telah diatur jelas dalam UU Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi, bahwasanya buruh merupakan mereka yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal sekecil itu memiliki pengaruh yang nantinya berdampak pada pergerakan buruh yang ada di Indonesia. Dalam konteks pergerakan buruh, aktivitas gerakan secara aktif dan kolektif ditunjang oleh adanya “Aliansi Buruh”. Secara umum, aliansi atau serikat buruh merupakan sebuah wadah atau organisasi yang berisikan kalangan buruh dari beragam rumpun pekerjaan, yang bertujuan untuk mengorganisir buruh untuk melakukan advokasi terhadap hak dan kesejahteraan buruh. Sehingga dapat dipahami bersama, bahwa aliansi buruh hadir untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan buruh dengan cara mengorganisir massa sehingga memiliki posisi tawar dalam proses lobbying politik. Pemerjuangan hak tersebut dapat ditempuh dengan lobbying politik, aksi langsung, serta mengorganisir kekuatan.

               Hal tersebut juga berlaku pada pekerja gig yang telah disebutkan pada postingan sebelumnya. Karena statusnya sebagai ‘mitra’, pekerja gig memiliki kerentanan dalam urusan lingkungan kerja, pemenuhan hak, dan juga kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu, dalam proses advokasinya tersebut diperlukan sebuah wadah yang menaungi buruh atau pekerja gig sebagai nilai tawar atau perwakilan buruh, dalam menuntut pemenuhan hak dan kesejahteraan. Karena sifatnya yang sementara dan fleksibel, pekerja gig seringkali tidak mendapatkan hak dasarnya sebagai karyawan, seperti pesangon dan juga asuransi kerja. Atas dasar keprihatinan tersebut, di Inggris terdapat aliansi pekerja gig yang berusaha mengadvokasikan status pekerja lepas, atau dalam konteks Indonesia sebagai mitra menjadi karyawan yang nantinya akan mendapatkan hak seperti pekerja umumnya. GMB yang merupakan singkatan dari General, Municipal, and Boilermakers merupakan salah satu serikat buruh terbesar yang ada di Inggris, dan berhasil menghimpun total 600.000 anggota per 2019 dari berbagai lini pekerjaan, seperti medis, buruh industri, dan juga pekerja gig (GMB, 2019).

               Dalam konteks advokasi kesejahteraan pekerja, GMB memiliki peran yang vital dan krusial dalam ‘pertarungan’ antara pihak buruh dan platform digital, Uber. Pertarungan tersebut ditujukan untuk pemenuhan hak dasar pekerja yang tidak terpenuhi karena status mereka sebagai pegawai lepas. Akibat status tersebut, yang dianggap pegawai lepas ini tidak mendapatkan hak dasar mereka seperti uang pesangon, asuransi kerja, dan juga uang pensiun. Atas hal tersebut, mama GMB mewakili 30.000 pekerja lepas di bawah Uber, menuntut perusahaan tersebut atas status pekerjanya. Advokasi secara kolektif tersebut pun berhasil dimenangkan GMB sebagai representasi dari pekerja lepas, yang atas kemenangan tersebut berhasil memperjelas status 30.000 pekerja lepas menjadi karyawan yang mendapatkan hak mereka sebagai pekerja (Johnston & Land-Kazlauskas, 2019:5). Tentunya hal tersebut dapat dipandang sebagai sebuah ‘angin segar’ bagi pekerja gig di seluruh dunia, ketika aliansi buruh di Inggris bisa melakukannya. Maka dengan semangat kolektif dan solidaritas, aliansi pekerja gig di bagian dunia manapun, termasuk Indonesia bisa melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh GMB.

               Gerakan serikat pekerja gig yang dilakukan di Inggris secara realitas, harusnya dapat dipraktikkan di Indonesia. Sebagai negara yang pada tahun 2021, memiliki 2.100 perusahaan tersebut start up, 7 perusahaan yang berlabelkan unicorn, dan 2 perusahaan yang berlabel decacorn (Kencana, 2021). Iklim perburuhan di Indonesia khususnya pada pekerja gig atau pekerja lepas sedang berada pada kondisi yang rentan dieksploitasi, kerentanan tersebut disebabkan istanbul escort girls karena kondisi kekosongan posisi yang ditinggalkan oleh serikat buruh. Terdapat sekitar 5.000 serikat pekerja gig yang berbentuk komunitas pengemudi ojek online yang tersebar di Jabodetabek, dengan masing-masing komunitas memiliki jumlah anggota 10 hingga 100 orang (Panimbang, 2021:26). Meskipun terbagi dalam jumlah komunitas yang banyak, pekerja gig Indonesia, khususnya pengemudi ojek online mempunyai rasa solidaritas yang kuat antar sesamanya. Namun, secara asas legalitas, advokasi kesejahteraan pekerja gig di Indonesia masih belum dapat berjalan secara efektif. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari banyaknya jumlah komunitas pekerja gig di Indonesia, tanpa dibarengi dengan kepemilikan suatu wadah besar bagi pekerja gig di Indonesia.

Meskipun hanya terdiri dari beragam komunitas yang berlandaskan pada semangat kolektif dan solidaritas, wadah yang berbentuk komunitas tersebut berhasil melakukan berbagai aktivitas. Dalam skala aktivitas solidaritas, terdapat sebuah wadah khusus yang bernama Unit Reaksi Cepat (URC). URC merupakan gugus tugas pengemudi yang bergantian memberikan bantuan bila diperlukan, misalnya seperti ada kejadian kecelakaan lalu lintas yang membutuhkan reaksi cepat dalam proses litigasinya (Panimbang, 2021:28). Dalam menjalankan aktivitasnya, URC ditopang oleh anggota yang merupakan perwakilan dari setiap komunitas pengemudi.

             Selain gerakan yang mengedepankan kebersamaan dan solidaritas, terdapat gerakan lain yang dikoordinir sebagai bentuk protes. Gerakan tersebut masih berkaitan dengan aksi langsung yang menyerupai pemogokan, yakni offbid massal. Gerakan offbid massal merupakan gerakan terorganisir yang dengan sengaja mematikan aplikasi sehingga ketika pelanggan akan memesan layanan, tidak akan ada yang menerima. Gerakan tersebut beberapa waktu yang lalu dilakukan akibat adanya penurunan insentif secara sengaja oleh pihak penyedia platform, hal tersebut dilakukan karena adanya perang harga antar kompetitor.

                Meskipun berasal dari negara dan bahkan benua yang berbeda, namun situasi dan kondisi yang dihadapi oleh pekerja gig di dua negara tersebut memiliki kesamaan, yakni terkait status kepegawaian dan juga pemenuhan hak dasar kesejahteraan sebagai pekerja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hubungan kemitraan dapat dipahami sebagai musuh bersama pekerja gig berbasis platform di segala penjuru dunia. Meskipun terdapat kesamaan umum yang berada di antara mereka, namun terdapat perbedaan yang dapat digolongkan sebagai hal yang fundamental pada hal tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perjuangan GMB sebagai representasi pekerja gig berhasil memenangkan tuntutan pada tingkat pengadilan, sehingga secara regulasi sebanyak 30.000 pekerja gig di Inggris mendapatkan hak dasar mereka sebagai pekerja secara umumnya. Keberhasilan tersebut tidak hanya disebabkan oleh aksi langsung barisan pekerja gig berupa pemogokan atau protes dengan turun ke jalan, tetapi terdapat peran sentral yang dilakukan oleh pihak serikat buruh dalam menaikan posisi tawar pekerja gig terhadap perusahaan platform mereka. Hal tersebut yang tentunya belum dapat dilakukan oleh serikat buruh pekerja gig yang ada di Indonesia.

             Dalam implikasinya dengan kondisi gerakan pekerja gig di Indonesia, serikat buruh yang menaungi seringkali kalah dalam posisi tawar dengan pihak penyedia platform dikarenakan kekuatan serikat buruh yang masih bersifat eksklusif dan  hanya terbatas pada pekerja gig saja. Inklusivitas tersebut yang diduga menghambat atau bahkan ikut berperan aktif dalam turunnya nilai tawar serikat pekerja gig di pandangan pihak korporat. Karena kalahnya nilai tawar dalam posisi tersebut, seringkali serikat buruh lebih memfokuskan diri pada metode aksi langsung karena tidak memiliki representasi di tingkat parlemen. Sehingga hambatan yang dialami oleh serikat buruh di Indonesia terdapat pada aspek internal dan eksternal. Pada aspek internal, gerakan serikat buruh cenderung bersifat eksklusif dengan menggolongkan diri berdasarkan pekerjaan mereka. Akibat inklusivitas tersebut, gerakan buruh yang berbasis pada massa mengalami stagnasi karena rendahnya posisi tawar buruh ketika berhadapan dengan korporat penyedia platform.

            Padahal GMB sebagai salah satu serikat buruh yang sukses melawan pihak penyedia platform bersifat inklusif dan tersedia bagi seluruh kalangan pekerja yang ada di Inggris, inklusivitas tersebut yang membuat GMB berhasil memperoleh 600.000 keanggotaan dan membuat posisi tawar GMB cukup diperhitungkan di parlementer Inggris. Sedangkan pada aspek eksternal, buruh di Indonesia secara umum tidak mempunyai perwakilan yang mengatasnamakan buruh dalam kontestasi parlemen, sehingga segala kepentingan buruh hanya akan bersifat formalitas semata.

         Metode perbandingan yang dilakukan pada dua serikat buruh ini bertujuan untuk menemukan titik lemah yang dimiliki oleh serikat pekerja gig yang ada di Indonesia, karena nyatanya sifat eksploitatif yang dibawa oleh jajaran “decacorn” di Indonesia merupakan hal yang dinamakan neo-eksploitasi. Akibat sikap eksploitatif tersebut, pekerja yang awalnya merupakan proletariat, sekarang bergeser menjadi prekariat, pekerja memiliki alat produksi untuk memproduksi modalnya sendiri namun secara sistem, ditekan secara struktural oleh komponen-komponen kapitalis. Sebagai negara yang memiliki jumlah pengemudi ojek online sebanyak 2 hingga 2,5 juta harusnya terdapat sebuah wadah besar yang digunakan sebagai watchdog bagi perusahaan penyedia platform (Azka, 2019). Pengorganisiran serikat buruh tersebut dibutuhkan sebagai roh gerakan buruh yang berdasarkan atas jumlah massa. Hal tersebut dilakukan karena pada tingkat partisipasi politik secara elektoral, posisi buruh mengalami kekosongan karena vakumnya partai buruh yang selama ini menjadi representasi buruh secara resmi dalam kontestasi politik.

Penulis : Reno Eza M.

Editor : Primanda Andi Akbar

Daftar Referensi

Azka, Mohammad Rinaldi. (2019). Berapa Sih Jumlah Pengemudi Ojek Online? Simak Penelusuran Bisnis.com! [daring]. Link:

https://ekonomi.bisnis.com/read/20191112/98/1169620/berapa-sih-jumlah-pengemudi-ojek-o

 nline-simak-penelusuran-bisnis.com.

GMB. (2019). History [daring]. Link: h ttps://www.gmb.org.uk/history.

Johnston, Hannah & Chris Land-Kazlauskas. (2019). Organizing On-Demand: Representation, Voice, and Collective Bargaining in the Gig Economy. Conditions of Work and Employment Series, No 94, pp 01 – 42.

Panimbang,    Fahmi.    (2021).    PROSES     KERJA    BERDASARKAN   ALGORITME    DAN PERLAWANANNYA DALAM EKONOMI PLATFORM DI INDONESIA: KASUS GO-JEK DAN

GRAB. Jurnal IndoProgress, Vol 01, No 01, pp 09 – 36.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.