(Ilustrasi kekerasan seksual. Sumber gambar: Katadata.co.id)

Hope Helps menyelenggarakan webinar bertajuk “Bijak Meliput Kekerasan Seksual” sebagai bentuk kampanye 16 HAKTP pada (7/12). Webinar yang dihadiri oleh perwakilan pers mahasiswa di seluruh Indonesia dan komunitas terkait dilakukan melalui Zoom Meeting.

Kampanye internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) semakin garang dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia khususnya para perempuan. Kampanye ini dilakukan untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

“Kekerasan seksual adalah isu sosial yang kompleks dan karena itulah perlu sekaligus sulit untuk dilaporkan di media, terlebih pers mahasiswa”, ungkap Rizqi Akbar dari BPPM Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). 

Mewakili pers mahasiswa ia mengatakan, media seharusnya dapat membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang kekerasan seksual (KS) dan seluk beluknya.  

Menurutnya pemberitaan media tentang kekerasan seksual, berdampak pada pengetahuan, keyakinan, sikap, dan perilaku masyarakat. Sehingga hal ini dapat menumbuhkan sikap publik yang intoleran terhadap kekerasan seksual. 

Dalam presentasinya Akbar juga menyebut bahwa pers mahasiswa tidak hanya sekedar meliput, tetapi perlu strategi khusus untuk melindungi dan menjamin keselamatan korban serta jurnalisnya. 

Keselamatan tersebut menurutnya bisa didapat melalui kampus walaupun sikap kampus seringkali blunder dan terkesan menutupi kasus yang ada.

“Dalam beberapa liputan, responnya masih muter-muter. Terkesan berusaha menutupi”, pungkasnya.

Permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di kampus marak terjadi dan masih jarang ditemui penyintas yang berani memilih untuk mulai speak up di berbagai media terutama media sosial.

Menanggapi fenomena tersebut Aulia Adam  mengatakan terdapat beberapa poin masalah KS di kampus. 

Indepth Journalist dari Tirto.id tersebut mencontohkan, seperti tidak adanya data akurat tentang jumlah kasus yang terjadi seluruh kampus di Indonesia, tidak adanya ruang aman atau safe space dan menumpukan penanganan pada keinginan korban untuk bicara. 

“Beberapa tahun terakhir muncul safe space swadaya mahasiswa dan dosen yang peduli pada kasus KS di beberapa kampus. Hope Helps di UI (Universitas Indonesia) menyebar ke beberapa kampus-kampus di Indonesia lainnya,” tutur Aulia.

Tapi, upaya ini tidak banyak didukung pihak rektorat/kampus sendiri,” lanjutnya menyayangkan. 

Dalam pemaparannya, ia juga menjelaskan beberapa upaya yang bisa dilakukan pers mahasiswa untuk turut membantu dan memihak para penyintas. 

Menciptakan ruang aman, mendukung hadirnya lingkungan yang pro-korban, mendorong disediakannya regulasi yang berperspektif pro-korban dan melakukan liputan mendalam yang menjamin keamanan penyintas, paparnya mencontohkan. 

Leader Division of Gender, Children, and Marginal Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Nurul Nur A juga turut hadir  sebagai pembicara. 

Dirinya menuturkan terkait kualitas dan pengaruh liputan KS pada wacana publik melalui poin Ethical, Empowering, dan Emancipatory. 

Dalam penuturannya, pers mahasiswa harus berada di garis standar kode etik dalam melakukan peliputan. 

Caranya dengan menjaga kredibilitas sumber, privasi korban dan tidak bersifat eksploitatif, membuka ruang pemulihan sekaligus jalan keadilan bagi korban serta mengedepankan perbaikan struktural dengan mendorong institusi untuk menjamin hak asasi.

Aulia Nastiti, Editor Remotivi sebagai salah satu pembicara juga menegaskan tentang etika pemberitaan. 

Dalam presentasinya ia menjelaskan berperspektif korban dengan tidak melakukan kekerasan, tidak melakukan diskriminasi, tidak memberikan stigma yang memperburuk kondisi korban, dan tidak melebih-lebihkan sebuah tulisan. 

“Tidak melakukan tindakan yang menyebabkan orang lain jadi korban, misal sebelum wawancara korban, wartawan harus bertanya apakah korban bersedia diwawancara dan ditulis atau tidak,” jelasnya. 

Ia juga menjelaskan bahwa pers mahasiswa juga harus berpedoman padai kode etik jurnalis yang berlaku.  

Menurutnya, pers mahasiswa memang sudah seharusnya aware dengan permasalahan KS yang terjadi terutama di lingkungan kampus.

“Selain meliput dan mengangkat sebuah berita pro-korban sebagai bentuk dukungan dan kepedulian terhadap para penyintas, pers mahasiswa juga harus berupaya untuk menciptakan ruang aman dan nyaman bagi penyintas untuk bercerita,” imbuhnya. 

Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli menutup sesi pemaparan materi mengatakan, selain membutuhkan ruang aman, penyintas juga butuh kenyamanan saat berinteraksi dengan para pers.

Ia menyatakan untuk berempati dan  menghargai martabat penyintas saat berinteraksi dengan mendengarkan pendapatnya. 

“Misalnya aku dan satu teman wartawan pernah ngobrol dengan penyintas dan kita sama-sama sepakat untuk menunda pemberitaan, dan pemetaan risiko dulu. Intinya, penyintas ingin keadilan, penyintas ingin dunia tahu bahwa si pelaku itu pelaku KS,” terang Evi bercerita pengalamannya. 

“Tapi dia juga nggak mau trauma lagi, dia nggak mau diserang teman-temannya sendiri dan sebagainya. Jadi kita kudu sama-sama diskusi untuk mitigasi risiko,” pungkas Evi. 

Penulis : Mutiara RJ

Editor : Tata Ferliana 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.