Sumber gambar: Kompasiana

Bulan April lalu, beredar video yang menunjukkan empat orang anak laki-laki tidak berhasil menjawab pertanyaan terkait kepanjangan Sekolah Dasar (SD) yang diunggah melalui akun Tiktok @iben_ma. Kejadian itu lantas menimbulkan beragam komentar dan kritikan dari pengguna internet. Salah satu dari keempat anak yang menjawab “sekolah dihapus”, mendapatkan banyak respon lucu sekaligus miris. Tampak pada akun John Sting BlancoDi berkomentar, “Woi… Dari banyak video yang sudah dishare, kenapa ya banyak generasi kita ini makin mundur kualitasnya”. Di sisi lain, mayoritas pengguna Twitter mempermasalahkan isi dari konten video beserta tim produksi yang terkesan merendahkan. Seperti respon akun Twitter Faiz Ghifari yang mewajari jawaban keempatnya, ia justru mengkritik pembuat video yang memanfaatkan anak-anak demi konten viralnya.  

Tanpa disadari, kedua pembahasan yang berbeda acapkali memiliki keterkaitan bahkan menjadi salah satu dari masalah yang rentan dihadapi selama pandemi Covid-19. Pendidikan dan anak-anak.  

Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 4 Tahun 2020 pada 24 Maret 2020, kegiatan belajar di rumah melalui pembelajaran daring telah genap setahun dilakukan. Keputusan melakukan kegiatan belajar di rumah demi meminimalisir penyebaran virus corona terpaksa mengubah proses pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh secara daring

Hambatan Pembelajaran Daring

Keharusan memiliki perangkat belajar daring dan internet yang memadai menjadi salah satu yang masih sulit dilakukan, mengingat masyarakat belum seluruhnya mampu mengaksesnya. Sementara, data Badan Pusat Statistika (BPS) 2020 menunjukan bahwa jumlah kepemilikan telepon selular mencapai lebih dari 100%, sedangkan hanya 20% masyarakat Indonesia yang memiliki komputer.

Bukan murid saja yang mengeluh, tenaga pengajar pun dituntut memiliki kemampuan akses teknologi digital dalam proses belajar mengajar. Ketidakmampuan tenaga pengajar dalam hal adaptasi akhirnya menghambat kebebasan berinovasi yang disarankan oleh Kemendikbud.

Tugas sekolah yang dibebankan kepada siswa melalui secara daring membuat siswa merasa jenuh. Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli membenarkan bahwa sebanyak 60 % guru di Indonesia tidak mampu memanfaatkan teknologi pembelajaran daring.  Sedangkan berdasarkan survei yang dilakukan Wahana Visi Indonesia terhadap 3.000 anak di 30 provinsi, menemukan adanya pengaruh emosional dalam menerapkan pembelajaran daring selama pandemi Covid-19. Wahana menjelaskan bahwa kondisi keluarga berdampak pada tingkat emosional anak dalam menanggapi banyaknya tugas tanpa adanya hubungan timbal balik dari para guru.

Ki Hadjar Dewantara (1935) mengingatkan, “Orang tua sebagai guru dan penuntun pada umumnja kewadjiban bapa-ibu ini sudah berlaku sendiri sebagai adat atau tradisi. Djanganlah mengira, bahwa ibu-bapa jang beradab dan berpengalaman tinggi sadja dapat dilakukan kewadjiban ini; ibu-bapa dari rakjat didesa-desapun melakukan pendidikan terhadap anak-anaknja.” Ki Hadjar Dewantara pun mengakui bahwa orang tua memiliki misi dan tanggung pendidikan bagi anak-anak. Tidak hanya itu, Bapak Pendidikan Indonesia merumuskan tripusat pendidikan. Hasil pendidikan dipengaruh oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat demi kelancaran pendidikan Indonesia.

Dampak Buruk Pendidikan Selama Pandemi

Pada akhir tahun 2020, empat kementerian mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang menyatakan bahwa sekolah diperbolehkan kembali dibuka mulai Juli 2021. Kebijakan pemerintah memperbolehkan sekolah dapat dibuka seiring dengan selesainya program vaksinasi pada semua guru yang berkeingan mengadakan kelas tatap muka asal mendapat persetujuan orang tua siswa.

Bank Dunia memprediksi dampak buruk belajar dari rumah terlihat pada kemampuan membaca pelajar Indonesia yang menurun dalam penilaian Programme for International Students Assessment (PISA) menyebabkan kehilangan pendapatan Rp 3,5 juta hingga 5,2 juta per tahun ketika mereka siap bekerja. Mereka juga melakukan penelitian terhadap hasil belajar dari rumah rata-rata hanya sebesar 33% dari kegiatan belajar normal di kelas. Dengan kata lain, penutupan sekolah selama delapan bulan di Indonesia tidak sesuai dengan hasil belajar di kelas tatap muka normal selama delapan bulan.

Keterbatasan tersedianya perangkat pembelajaran pada anak-anak dari kelompok ekonomi menengah ke bawah serta tingkat pendidikan orang tua rendah memperparah kerentanan anak-anak dalam mencapai pendidikan yang berkualitas. Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) melakukan penelitian di empat provinsi menunjukan sekitar 28% anak mampu belajar dengan media daring. Di Jawa Timur, bisa berkembang sampai 40%, namun di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), pembelajaran daring masing-masing kurang dari 10% dan 5%. Selain itu, learning loss juga mengakibatkan peluang masa depan anak dari kelompok rentan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka akan terancam serta memperparah kesenjangan antara anak yang berasal dari keluarga mampu dan anak kelompok rentan.


Penulis: Balqis Primasari
Editor: Risma D.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.