(Gambar: piqsels.com)
Sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan Maret 2020 lalu, terhitung hampir satu tahun sudah masyarakat rehat dari aktivitas normalnya.
Semuanya serba terbatas. Namun, penyebaran Covid-19 di Indonesia justru semakin meluas.
Berdasarkan grafik yang dihimpun Kementerian Kesehatan RI, kasus Covid-19 telah menembus angka 1,20 juta pada Jumat (12/2/2021). Dengan demikian, Indonesia mencatat kasus tertinggi di Asia Tenggara.
Semakin tingginya kasus, semakin gencar pula pemerintah menurunkan kebijakan baru terkait pembatasan aktivitas masyarakat di luar. Perguruan tinggi menjadi salah satu instansi yang dikenai aturan pembatasan tersebut.
Narasi perkuliahan daring yang berlaku sejak pertengahan Maret 2020 pun kembali berlanjut. Segala tantangan dan dinamika kuliah daring mulai dari persoalan kuota, kebijakan potongan UKT yang belum menyeluruh, susahnya jaringan, hingga kendala praktikum memunculkan pertanyaan di benak mahasiswa. Akan sampai berapa semester lagi kebijakan ini berlangsung.
Vaksin Tiba, Pandemi Sirna?
Kehadiran vaksin Sinovac di Tanah Air pada Minggu (6/12/2020) membawa secercah harapan baru. Ketika kebijakan pembatasan tidak efektif mencegah penularan, vaksin diharap mampu bekerja menciptakan antibodi untuk melawan virus.
Kendati demikian, kedatangannya tidak terlepas dari pro kontra yang merebak di masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan keamanan vaksin meskipun Presiden RI, tenaga medis, dan beberapa publik figur telah divaksinasi.
Waktu pembuatan vaksin yang dirasa cukup singkat dari pembuatan vaksin sebelumnya, seperti HIV dan kolera membuat masyarakat ragu akan keamanan dari vaksin tersebut.
Ahli Biostatistika Epidemiologis Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair memberikan tanggapan terkait lama pembuatan vaksin.
“Sebetulnya kalau normal, vaksin itu dibuat melalui riset yang sangat panjang bisa puluhan tahun. Buktinya HIV yang sampai saat ini belum muncul vaksinnya, masih diriset,” jelas Dr. Windhu Purnomo saat dihubungi melalui sambungan telepon WhatsApp pada Rabu (27/01)
“Tapi ini kan keadaan darurat sehingga vaksin bisa dibuat dalam tempo yang sangat cepat. Yah, kurang lebih setahun,” imbuhnya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengatakan vaksin Sinovac yang telah diuji coba tahap ketiga di Bandung telah memenuhi standar keamanan yang disyaratkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal itu disampaikannya dalam konferensi pers pengumuman pemberian izin penggunaan darurat vaksin atau Emergency Use Authorization (EUA) yang digelar pada Senin (11/1/2021).
Dr. Windhu Purnomo pun menegaskan vaksin yang telah didistribusikan sudah aman digunakan karena telah melewati pengujian oleh BPOM.
“Keamanan maupun kemanjuran dari vaksin itu selalu melewati badan itu. Kalau sudah lolos BPOM tidak perlu khawatir, kalau tidak meyakinkan tidak akan itu lolos BPOM,” tegasnya.
Lantas apakah dengan tibanya vaksin, pandemi Covid-19 dapat selesai di tahun 2021? Pertanyaan tersebut ramai menjadi perbincangan masyarakat termasuk mahasiswa yang mulai jenuh dengan kuliah daring.
Guru Besar Molekuler Unair pun menjawab jika pandemi di Indonesia tidak pernah tuntas sehingga tidak dapat diprediksi kapan selesainya.
“Pandemi di Indonesia biasanya tidak pernah tuntas, seperti flu burung, flu babi, dan mungkin nanti Covid-19 juga akan hilang sendiri. Tidak dapat diprediksi kapan tepatnya pandemi ini akan selesai,” ujar Prof. Dr. Chairul Anwar Nidom pada Jumat, (22/01/2021).
Berakhirnya pandemi Covid-19, lanjutnya, tidak terlepas dari peran penting masyarakat dalam menjaga pola hidup sehat, pola makan, dan menerapkan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak).
“Letak keberhasilan untuk keluar dari pandemi Covid-19 ini ya ada pada bagaimana perubahan pola hidup masyarakat dan pola lingkungan, serta bagaimana perubahan karakter virus,” imbuh Prof. Nidom.
Hal yang sama diungkapkan Pakar Komunikasi Unair. Selain menerapkan prinsip 3M, pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan-kebijakan komunikasinya.
“Pemerintah perlu mereview kebijakan komunikasinya. Hal utama yang perlu dipahami bahwa dalam situasi pandemi, psikis masyarakat juga terkoyak. Ada rasa cemas, panik, apalagi mereka yang kehilangan pekerjaan atau penghasilan,” ungkap Suko Widodo.
Tentunya, dengan situasi dan kondisi itu, diperlukan pendekatan-pendekatan yang persuasif untuk mengkomunikasikan dan menyosialisasikan aturan-aturan yang telah dibuat.
“Kalau caranya salah maka bisa dilawan sama warga yang sudah mulai putus harapan. Maka, seyogyanya pemerintah mengajak para ahli, tokoh, media, dan lain-lainnya untuk merumuskan ulang cara menerapkan regulasi pencegahan Covid,” jelasnya.
Suko Widodo juga menjelaskan perlunya komunikasi dialogis antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus mendengarkan suara-suara masyarakat sehingga komunikasi bisa berjalan dua arah.
“Pemerintah bisa memanfaatkan relawan yang dilatih, disertifikasi. Ambil kalangan mahasiswa, pramuka, kemudian diseleksi, dilatih sebagai relawan dan diberi otoritas tugas membantu negara. Buat program Negara Memanggil Mahasiswa untuk kemanusiaan, misalnya demikian,” imbuhnya.
“Kalau mengandalkan aparat berseragam, dan hanya sekadar menerapkan peraturan bisa memicu konflik. Mereka yang turun ke masyarakat juga harus dibekali ilmu kemasyarakatan lebih dulu, biar masyarakat simpati dan akhirnya terbangun solidaritas bersama,” pungkas Suko Widodo mengakhiri.
Peluang Kuliah Luring
Menjawab pertanyaan mahasiswa terkait peluang kuliah tatap muka, kembali Prof. Nidom menyebut jika seharusnya perguruan tinggi bisa tetap masuk tatap muka.
“Sebetulnya kita sebagai warga perguruan tinggi harus malu, kenapa sivitas perguruan tinggi disamakan dengan para murid PAUD atau SD yang sekolahnya di-lockdown. Seharusnya kampus bisa membuat terobosan-terobosan untuk menghindari akibat Covid-19. Sebab perguruan tinggi sebagai center of excellent harus bisa menjadi mercusuar (panutan) bagi yang lain,” ungkapnya.
Mahasiswa dan perguruan tinggi semasa Covid-19 seyogyanya tetap masuk dan harus mampu menciptakan berbagai inovasi untuk mencegah serta keluar dari pandemi. Mahasiswa Unair, kata dosen FKH Unair itu harus tampil di depan dalam menghadapi pandemi.
“Khusus mahasiswa Unair harus tampil di depan dalam menghadapi pandemi, mengingat Unair dibangun dari ilmu kesehatan (health science), kemudian berkembang dengan berbagai macam disiplin. Kesehatan saat ini tidak bisa hanya dihadapi oleh profesi kesehatan saja maka mahasiswa perlu menyatukan berbagai disiplin keilmuan untuk melihat pandemi secara holistik,” jelasnya.
Sementara Unair sendiri memilih langkah preventif dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 69/UN3/PK/2021 pada Rabu (6/1/2021) lalu. Terdapat empat teknis pembelajaran, yakni daring, blended (kombinasi daring dan luring dalam satu mata kuliah), hybrid (kombinasi daring dan luring dalam satu pertemuan), dan luring.
“Pembelajaran blended dan hybrid hanya ditujukan untuk mata kuliah praktikum/praktik kerja/praktik klinik yang Capaian Pembelajarannya (CP) menuntut adanya softskill,” jelas Direktur Pendidikan Unair, Minggu (24/1).
Untuk mata kuliah yang tidak memerlukan praktikum atau CP dengan tuntutan softskill akan tetap secara penuh dilakukan secara daring.
“Pembelajaran kuliah akan dilakukan secara daring,” tambah Prof. Sukardiman.
Sementara kegiatan luring dapat dilakukan dengan catatan mendapatkan izin aktivitas dari pemerintah daerah setempat, Ketua Satgas Covid-19 Unair, dekan fakultas, koordinator program studi, orangtua/wali mahasiswa serta melampirkan bukti tes negatif virus Covid-19 dan mengikuti protokol kesehatan.
“Bisa luring tapi harus menggunakan prokes yang ketat. Sesuai SE Rektor harus ada izin,” tegasnya lagi.
Dengan demikian, mahasiswa harus kembali bersabar satu semester ke depan. Bagaimanapun jenuhnya di rumah, pepatah lebih baik mencegah daripada mengobati tampaknya pantas diaplikasikan dalam kasus pandemi dekade ini.
Penulis: Noviatus S., Diyanah S., Petrus P., Baitiyah.
Editor: L. Fitriani