(Sumber gambar: Tirto.id)

Keadaan Indonesia pada masa kolonial Belanda dengan belenggu kapitalismenya telah mengeksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Alhasil, rakyat mengalami krisis dalam berbagai bidang. Belanda menguasai daerah-daerah produksi, menciptakan sistem sewa tanah dan tanam paksa yang praktis membuat pribumi makin sengsara. Perlakuan tidak adil seperti penindasan, pemaksaan, upah rendah, serta pemerasan telah menjadi konsekuensi pribumi dalam sistem kemasyarakatan Hindia Belanda kala itu.

Semaoen merupakan salah satu murid Tjokroaminoto yang muncul sebagai Bumiputera pertama yang menjadi propagandis serikat buruh. Semaoen lahir di Tjurahmalang, Jombang, pada 1899. Ayahnya bernama Prawiroatmodjo yang bekerja menjadi buruh kereta api di Surabaya sebagai tukang pemecah batu. Semaoen yang dilahirkan bukan dari kalangan priyayi, sudah barang tentu diskriminasi menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari.

Ketika berusia tujuh tahun, Semaoen bersekolah di Hollandsch Lagere School yang berada di Surabaya. Ketika duduk di bangku kelas 6, ia diperkenankan ikut ujian Klein Ambternaar (Pegawai Pamong Praja Rendah), dan lulus. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia tidak dapat menyelesaikan pendidikan lebih tinggi. Kondisi tersebut mendorongnya bekerja di Staatspoor Surabaya sebagai juru tulis kecil.

Walaupun telah bekerja, semangat belajar Semaoen tidak surut. Otodidak adalah jalannya. Sikap maupun sifat Semaoen yang gemar membaca buku dan mudah bergaul, memberikan jalan lebar bagi Semaoen dalam menambah pengetahuannya melalui orang-orang di sekitarnya.

Bergabung dengan Sarekat Islam

Ada kejadian menarik ketika terjadi aksi pemboikotan toko-toko Cina di Surabaya. Toko-toko tersebut diberi suatu tanda tertentu yang hanya diketahui oleh setiap anggota Sarekat Islam. Semaoen secara kebetulan mengetahui “kode rahasia” itu. Mau tidak mau, mereka terpaksa menerima Semaoen menjadi Anggota Sarekat Islam, meski Semaoen masih dalam usia belia.

Pada tahun 1914, Semaoen muda yang tergabung dalam Sarekat Islam Cabang Surabaya telah menunjukkan kecakapan dan bakatnya dalam bidang pergerakan. Segera di usianya yang ke-15, Semaoen telah menjabat Sekretaris SI Cabang Surabaya. Namun tak berlangsung lama, setelah pertemuannya dengan Sneevliet pada 1915, Semaoen pindah ke Semarang atas ajakannya.

Sneevliet adalah seorang propagandis asal Belanda yang mengenalkan paham Marxisme pada Semaoen. Kaum sosialis dan buruh telah menarik anggota Sarekat Islam seperti Semaoen, sehingga para anggota SI turut serta bergabung dengan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dan Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP). Hal ini dimanfaatkan Sneevliet yang berkeinginan menembuskan paham Marxisme ke tubuh Sarekat Islam. Dalam memuluskan propagandanya, ia menggunakan sistem yang dikenal dengan “keanggotaan ganda” baik ISDV maupun SI.

Taktik ini sangat menguntungkan karena ISDV berhasil menanamkan pengaruh yang kuat di dalam tubuh Sarekat Islam. Dengan cepat haluan komunis menjangkiti beberapa tokoh muda, seperti Semaoen dan Darsono di SI Cabang Semarang, Alimin dan Musso di SI Cabang Batavia, dan Haji Misbah di SI Cabang Surakarta.

Seiring kemenangan Revolusi Rusia tahun 1917, ISDV dan VSTP sebagai organisasi di Hindia Belanda yang bergerak membina organ pergerakan buruh semakin militan dalam menuju cita-cita perjuangan komunisme, seperti apa yang diperjuangkan kaum Bolshevik di Rusia.

Sarekat Islam Merah dan Pergerakan Buruh

Kongres Sarekat Islam Cabang Semarang pada 1917 menyepakati Semaoen menjadi Ketua SI Semarang menggantikan Mohammad Joesoef. SI Semarang menjadi sangat radikal di bawah kepemimpinan Semaoen yang revolusioner. Tidak lama kemudian pendukung SI Semarang didominasi buruh dan rakyat kecil. Pergantian pengurus ini adalah wujud pertama dari perubahan gerakan SI Semarang dari gerakan kelas menengah menjadi gerakan proletariat.

Kecerdasan dan keberanian dalam melakukan kritik dan intrik atas kebijakan-kebijakan kolonial semakin membuat Semaoen dikenal. Lalu, berbagai aksi pemogokan yang dimotori Semaoen semakin lama semakin memojokkan posisi Tjokroaminoto. Tjokroaminoto merasa terancam eksistensinya karena semakin menguatnya Semaoen dalam mengorganisir buruh sebagai kekuatan Bumiputera untuk berjuang melawan kapitalisme Belanda.

Semaoen yang memiliki sikap politik tanpa kenal kompromi, dibuat marah dengan adanya perwakilan penduduk pribumi di tubuh Volksraad. Menurut Semaoen, perwakilan pribumi dalam tubuh Volksraad yang disebut Indie Weerbaar hanya seperti wayang yang dikendalikan Belanda karena tidak mampu memberikan perlawanan dan memperjuangkan nasib pribumi dalam Volksraad. Puncaknya saat Kongres Central Sarekat Islam ke-2 di Jakarta terjadi perdebatan besar, Semaoen dengan pandangan Marxisnya berdebat dengan Abdoel Moeis yang merupakan utusan Indie Weerbaar.

Pada awal 1920, ISDV menerima surat dari Sneevliet yang berada di Shanghai, yang menyarankan agar bergabung menjadi anggota Komintern. Lalu diadakanlah kongres istimewa dan diputuskan bahwa ISDV bergabung. Pada 23 Mei 1920, ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunis Hindia, dan pada 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penyulut perpecahan di tubuh Sarekat Islam.

Pergulatan ideologi antara Islam dan Komunis di dalam tubuh Sarekat Islam mencapai puncaknya pada Kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam di Surabaya pada 6-10 Oktober 1921. Semaoen berdebat habis-habisan dengan Agoes Salim yang berakhir dengan diputuskannya disiplin partai, yakni melarang anggota SI merangkap jabatan di organisasi lain. Hal ini jelas ditujukan kepada Semaoen dan para pengikutnya. Sejak saat itu Sarekat Islam pecah menjadi 2 kubu, SI Merah dipimpin Semaoen yang berideologi komunis dan berpusat di Semarang, serta SI Putih dipimpin Agoes Salim yang berideologi Islam dan berpusat di Yogyakarta.

Masa Pengasingan

Pada aksi mogok besar-besaran oleh serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) tahun 1923, Semaoen yang menjadi dalangnya ditangkap pihak kolonial dan diasingkan ke Belanda. Setiba di Belanda, ia menjalin hubungan dengan Perhimpoenan Hindia, yaitu organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Di situ ia menggaungkan gagasan-gagasan marxisme dan anti-kolonialisme.

Semaoen bersama Sneevliet dan Bergsma membuat sebuah instrumen propaganda yaitu majalah “Pandoe Merah” yang terbit dalam bahasa Melayu dan Belanda. Semaoen memanfaatkan para pelaut Indonesia di Belanda guna menjadi kurir dan strategi itu berhasil. Dan pada tahun ini juga, Moskow mengangkat Semaoen menjadi Komite Eksekutif Komintern.

Tidak lama di Belanda, Semaoen pergi menetap di Moskow. Pada tahun 1945, ia mengajar Bahasa Indonesia di Institut Ketimuran dan Institut Hubungan Luar Negeri Moskow. Ia juga bekerja di radio Moskow untuk mengisi siaran berbahasa Indonesia, lalu ia memutuskan menikah dengan seorang perempuan Rusia bernama Varia. Puncaknya ia dipercaya menjabat sebagai ketua Badan Perancang Negara di Tajikistan.

Semaoen yang berkeinginan pulang ke Indonesia, dilarang oleh pemerintah Uni Soviet. Soviet beranggapan Semaoen yang dianggap terlalu paham soal Soviet, dikhawatirkan setiba di Indonesia akan membeberkan berbagai informasi strategis yang akan membahayakan Soviet. Namun, atas permintaannya ke Presiden Soekarno ketika berkunjung ke Moskow pada 1956, Semaoen akhirnya bisa pulang ke Indonesia setelah tinggal di negeri orang hampir 30 tahun lamanya. 

Kembali ke Indonesia

Di Indonesia, ia mendapatkan amanah dari Presiden Soekarno dengan menjabat wakil ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara yang diketuai Sultan Hamengkubuwono IX. Semaoen juga menjadi dosen di Universitas Padjajaran. Puncaknya ia mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Ekonomi di Universitas Padjajaran.

Perlu diketahui ketika kembali di Indonesia, Semaoen telah terputus hubungan dengan Partai Komunis Indonesia yang ia dirikan dahulu. D.N Aidit beserta pimpinan PKI lainnya pupus dalam tragedi ‘65, sedangkan Semaoen baru wafat pada 7 April 1971 dan dimakamkan tidak jauh dari makam keluarganya, di Pemakaman umum Gununggansir, Kecamatan Beji, Pasuruan.

Boleh dikatakan nasib Semaoen dalam hal pendidikan tak semujur kebanyakan pimpinan PKI lain segenerasinya, sebut saja Darsono, Alimin, Musso, Tan malaka, dan Aliarcham. Semaoen hanya mengenyam pendidikan tingkat dasar yang sebenarnya saat itu tidaklah bergengsi. Namun, ia yang bisa menjadi wartawan berpengaruh di Sinar Djawa, menulis sebuah buku berjudul “Hikayat Kadiroen”, serta mendirikan partai komunis pertama di Asia Tenggara adalah hal luar biasa dari diri Semaoen.

Referensi:

Azinar Ahmad, Tsabit. (2014). Sarekat Islam dan Gerakan Kiri di Semarang. 1917-1920. Jurnal Sejarah dan Budaya. 8(2), 1-7

Dominikus B. (2010). Buruh Bergerak: Semaun dan Suryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh. 1900-1926. Skripsi. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta

Jati, Yus Pramudya. 2017. Menjadi Merah Gerakan Sarekat Islam Semarang 1916-1920. Temanggung: Kendi

Wirawan Wahyu. (2011). Semaun dalam Bayang-bayang Pemerintah Hindia Belanda DALAM. 1899-1923. Paramita, 21(2), 1-11

Triyana, Bonnie. (2020). Semaun dan Sneevliet, Kisah Persahabatan Dua Orang Revolusioner. Diakses 5 Oktober 2020, url: https://historia.id/politik/articles/semaun-dan-sneevliet-kisah-persahabatan-dua-orang-revolusioner-P9jYX.

Usia, Teguh. (2017). Semaun di Zaman yang Bergerak. Diakses tanggal 5 Oktober 2020, url: https://koransulindo.com/semaun-di-zaman-yang-bergerak/

Yog. (2017). Ternyata, Makam Semaun Ketum Pertama PKI di Beji Pasuruan. Diakses 5 Oktober 2020, url: https://www.wartabromo.com/2017/10/04/ternyata-makam-semaun-ketum-pertama-pki-di-beji-pasuruan/

Penulis: M. Fakhri Sajidan

One thought on “Semaoen: Pendiri PKI yang Hidup Tenang di Masa Senjanya”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.