(Sumber gambar: Institut Sejarah Sosial Indonesia)

Terkadang mengetahui adalah kutukan, seperti Adam dan Hawa yang diturunkan ke bumi setelah memakan apel pengetahuan, seperti itu pula perasaanku ketika mengetahui sesuatu tentang ayahku. Sebenarnya sudah dua belas tahun berlalu semenjak kelahiranku dan aku tidak pernah tahu siapa ayahku. Ibu sendiri tidak pernah memberitahuku, bahkan ia akan berusaha mengalihkan pembicaraan bila aku bertanya tentang ayah. Kalau itu tidak berhasil, sudah pasti teriakan memekakkan telinga plus pukulan gagang sapu yang akan kudapat. Bila sudah begitu, aku akan lari ke rumah nenek sambil menangis sesenggukan.

Rumah nenek yang ada di ujung jalan rumah adalah tempat pelarian favoritku. Meski kecil, rumah nenek bersih dan banyak dihiasi barang-barang antik juga bunga warna-warni. Nenekku yang kurus, sepuh, dan sering batuk ini selalu menolak kalau ibu mengajaknya pindah ke rumah kami. Terlalu banyak kenangan, katanya waktu itu.

Kalau aku sudah mendatanginya sambil menangis sesenggukan, ia pasti langsung memeluk dan mengusap rambutku. Bak cenayang, ia langsung berbisik bahwa ibu melakukan hal itu demi kebaikanku.

Aku mendongakkan kepala dan melepaskan diri dari pelukannya, menatap nenek di hadapanku yang terlihat buram karena air mata yang membendung mata. Aku mengucek air mataku dan menatap nenek sungguh-sungguh.

“Aku ingin tahu tentang ayahku, kalau tidak, aku akan pergi mencarinya dan tidak akan menginjak rumah sebelum menemukannya,” ujarku dengan mata melotot.

Nenek tersenyum getir, sepertinya ia tahu kalau aku tidak main-main. Ia tahu aku bukan bocah dua belas tahun yang dengan mudahnya mematuhi perkataan semua orang. “Baiklah, ini akan menjadi kisah yang panjang,” kata Nenek akhirnya.

“Ayahmu adalah pemuda tampan dan cerdas. Namanya Rusli, ia adalah juru tulis di Lekra.”

Dahiku berkerut, “apa itu Lekra, Nek?”

“Lembaga Kebudajaan Rakyat, Mara. Meski tidak setenar Pramoedya dan sastrawan Lekra lainnya, namun ayahmu adalah sastrawan yang cerdas. Ia melawan penjajah bukan dengan senjata, melainkan dengan pena.”

Mara menganga. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ayahnya melawan penjajah yang bersenjata lengkap dengan sebatang pena.

“Ayahmu orang hebat, Mara. Ia dengan teguh memperjuangkan nasib buruh dan petani,” lanjut nenek seraya tersenyum. Ia bersiap membuka mulut untuk meneruskan ceritanya, namun langsung ditutupnya kembali begitu mendapati ibu sudah di ambang pintu dengan mata melotot sambil membawa gagang sapu.

Aku mengikuti pandangan Nenek, dan langsung menelan ludah ketika melihat ibu beserta kemarahan yang berkali-kali lipat lebih merah daripada biasanya. Ibu menjatuhkan sapunya, lalu menghampiriku dan nenek. Ia pun berlutut agar dapat menyejajarkan matanya denganku.

“Dengar Mara,” suara Ibuku terdengar serak, terlihat ia berusaha sangat keras membendung air matanya. Aku tidak mengerti kenapa ia tidak marah-marah seperti biasanya, malah ia terlihat pasrah. Apakah kepasrahan adalah puncak kemarahan ibu?

“Ayahmu adalah PKI, Mara,” ujar Ibu. “Ia ditangkap suatu malam ketika dalam perjalanan pulang. Saat itu adalah penangkapan PKI besar-besaran. Beruntung Mara, begitu mendengar kabar dari Koesman-teman Ayahmu-bahwa ia telah ditangkap, aku dan kau yang masih dalam kandungan memutuskan pindah ke rumah saudara di Yogya.”

Hening sejenak.

“Sejak itu, kita hidup berpindah-pindah dengan uang tabungan, uang dari Koesman, dan sedikit penghasilanku, Mara. Begini-begini, ibumu mewarisi sedikit kecakapan menulis dari ayahmu. Cukuplah kiranya uang hasil tulisan itu jadi bekal makan dan sangu perjalanan kita.”

“Entah berapa tempat-tempat yang sudah kita datangi, Mara. Yogya, Solo, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kediri, Jombang hingga kembali lagi ke Jakarta pada 1977 ketika kau berusia 10 tahun. Kau ingat kan, bagaimana kehidupan kita dulu?” tanyanya lembut.

Aku mengangguk, bahkan aku tidak bisa sekolah, alasan ibu waktu itu konyol sekali, katanya ibu lebih pintar daripada guru-guru sekolah dasar. Tapi memang benar sih, ibuku pintar sekali. Selain itu, aku tidak pernah punya teman. Ketika sudah akrab dengan seseorang, tiba-tiba saja ibu sudah mengajakku pindah ke kota lain.

“Dengar Mara,” ujar Ibu lagi. Kali ini bendungan air matanya jebol, ia menangis. Ini pertama kalinya aku melihat ibu menangis. Mungkin ia sering menangis, tapi tidak di hadapanku. Di hadapanku, ia berusaha setangguh batu karang.

“Mara,” ia memanggil namaku lagi.

“Ayahmu orang baik dan cerdas, tapi tetap saja dia PKI. Dia tidak pernah membunuh siapapun, tapi tetap saja PKI. Kau, aku, dan Nenek tentu bukan PKI, tapi ayahmu tetap PKI, dan keluarganya tetap dianggap sebagai PKI. Tetangga kita mungkin tidak mempermasalahkan karena kebaikan hati ayahmu dulu, tapi bagaimana dengan orang lain yang tidak mengetahui tentang ayahmu, tentang keluarga kita?”

Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan.”Mara, kalau kau mau hidupmu selamat. Gigit lidahmu jika kau ingin bercerita bahwa Ayahmu PKI.”

Penulis: Amelia Rahima Sari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.