Judul                : Time Machine (Judul asli : The Time Machine)
Penulis             : H.G Wells
Halaman          : VIII + 150
Penerbit           : Octopus Publishing House
Cetakan           : 1, 2016
ISBN                : 978-602-72743-7-6

“…ketika pikiran dan kekuatan telah sirna, maka penghargaan dan kelembutan masih ada didalam hati manusia.Time Machine, Hal. 148

Sedikit cuplikan dari novel Time Machine, salah satu bacaan berjenis fiksi ilimah. Seperti yang kalian tahu tentang apa yang dibahas dalam karya berbentuk fiksi ilmiah, yakni mengenai pandangan spekulatif seseorang tentang pengetahuan dan teknologi yang direlevansikan dengan kehidupan masyarakat atau Individu pada suatu masa.

Novel ini bercerita tentang seseorang (Time Traveler) yang terobsesi untuk bisa tahu tentang keadaan dunia di masa yang akan datang. Akhirnya setelah berhasil membuat mesin waktu, dia pun menjajalnya dan akhirnya tanpa disadari dia terdampar pada suatu tatanan dunia baru dan belum pernah dibayangkannya. Di kehidupan saat itu dia melihat bahwa ras manusia hanya terbagi dalam dua golongan, ras Eloi yang hidup di atas permukaan bumi dan ras Marlock yang digambarkan hidup pada bagian bawah lapisan bumi, sunyi hening dan hanya keluar ke permukaan saat hari telah larut.

H.G Wells, si penulis, berhasil membuat gambaran kehidupan manusia di masa depan. Secara tersirat dia juga menggoreskan sebuah cerita tentang gagasan baru tentang sains, yakni dimensi keempat yang bisa juga disebut sebagai waktu dan tidak perlu dipandang sebagai ruang. Novel ini bisa disebut sebagai karya yang abadi, karena dapat bertahan berates tahun setelah cetakan pertamanya di Inggris. Melalui novel ini Wells megungkapkan ironi tahap akhir pada perjuangan kelas masyarakat pada zamannya. Latar waktu novel ini ialah abad 19 yang kemudian meluncur pada kehidupan tahun 802.701 di Inggris. Kehidupan yang dialami masyarakat Inggris tahun 802.701  ternyata tidak sejahtera meskipun inovasi-inovasi mengenai teknologi sangatlah maju dan berkembang.

Eloi merupakan salah satu ras yang diceritakan hidup di atas permukaan bumi dan memiliki harta yang banyak, tidak pernah berguna dalam hidupnya, selalu menggantungkan hidupnya pada ras Marlock mulai dari pakaian, makanan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Sedangkan kelas Marlock ini cenderung digambarkan sebagai sosok buruh, kelas bawah, proletar, dan hidup dalam bayang-bayang masyarakat Eloi. Tanpa dipungkiri kritik sosial yang tajam sengaja dicantumkan dalam karya ini untuk menyadarkan masyarakat Inggris pada masa itu, karena ketidakadilan yang dialami oleh kaum bawah utamanya. Wells menceritakan bahwa selalu terjadi perseturuan antara kaum Eloi dan Marlock, hingga berbuntut saat adanya kesempatan si Marlock balas dendam pada kaum Eloi. Mereka (Marlock) memakannya (Eloi).

Novel ini ditulis pada akhir abad 19, tepatnya pada tahun 1895 dalam bentuk bingkai yang kemudian diterbitkan pada tahun itu juga. Mungkin bisa disebut saya sangatlah terlambat membaca buku ini karena sudah hampir seabad yang lalu buku ini terbit dan baru kemarin saya selesai membacanya, sungguh ironis memang, namun alangkah baiknya, tak ada kata terlambat dalam belajar. Kritik yang disampaikan oleh Wells sangatlah baku, dia mengarah pada kondisi sosial masyarakat Inggris waktu itu yang sedang gencar dalam menggalakkan Revolusi Industri. Bisa anda ketahui sendiri dampak apa yang dimunculkan oleh adanya praktek Revolusi Industri. Banyak yang positif akan tetapi tidak sedikit pula hal negatif yang ditimbulkan oleh adanya gebrakan besar ini. Mulai dari munculnya fenomena Urbanisasi, terjadinya kesenjangan antar kelas sosial pengusaha dengan buruh, hingga yang paling ingin diangkat oleh Wells yakni upah buruh yang rendah, keadilan yang berat sebelah, tumpang tindih, dan tidak bisa di bilang merata, sistem ekonomi kapitalis yang sangat mencengkeram rakyat kelas bawah, dan dengan karyanya ini Wells sangat apik mengguratkannya.

Cerita dan kritik sosial yang disampaikan oleh Wells, seakan masih bisa kita rasakan sampai saat ini. Saat tenaga industri sudah menjamur di negara kita dan kesenjangan-kesenjangan antara pengusaha, pemerintah, maupun buruh sangat runcing, misalnya dalam penentuan upah minimum pekerja, seakan pemerintah selalu berpihak pada pengusaha dan mengabaikan hak para buruh, upah yang rendah, asuransi kerja yang tak seberapa dan masih banyak lagi. Meski negara kita bukan penganut paham ekonomi kapitalis akan tetapi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin sangatlah vulgar terjadi. Memang majunya sebuah negara itu bisa dilihat dari bagaimana lajur ekonomi dan pendapatan perkapita masyarakatnya, akan tetapi kenikmatan itu hanya dirasakan oleh beberapa orang saja. Lantas apa yang bisa kita banggakan dari sekedar predikat negara maju.

Lalu langkah kita seperti apa sehingga mengharuskan negara ini bersikap adil kepada rakyatnya sesuai dengan hakikat Pancasila, saya masih bingung. Namun langkah konkret bisa kita tempuh mulai dari hal kecil. Sekali lagi mulai dari hal kecil, yakni diri kita, sudah seberapa besar sumbangsih kita ke negara ini sehingga mengharuskan kita selalu menuntut hak, hak, dan hak kepada negara. Mulailah dari diri sendiri sebelum mengarah pada hal yang sedikit besar, sehingga kita dapat mengetahui seberapa kapasitas kita menyuarakan ‘Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia’ sehingga keadilan yang merata itu bisa terwujud dengan baik.

Kembali pada pembahasan buku ini, menurutku sebagai seorang pembaca awam, buku ini lumayan berat di bagian awal. Banyak pendeskripsian alur cerita yang dirasa sukar dimengerti, sehigga mengharuskan kita untuk sedikit berpikir dalam memahaminya. Namun ketika lanjut pada alur cerita selanjutnya, buku ini mulai nikmat untuk dibaca. Penggambaran alur dan suasananya sangat kuat dan bisa membuat imajinasi pembaca secara liar berkreasi.

Dari segi layout dan tata letak penulisannya, buku ini bisa dibilang sangat baik dan  membuat pembaca nyaman saat membacanya. Bahan buku juga lumayan bagus. Animasi yang tergambar di sampul depan juga bisa membuat orang yang melihat buku ini menjadi penasaran untuk tahu apa isi didalamnya. Namun sedikit disayangkan, dari segi penerjemahan buku ini terkesan diterjemahkan secara utuh dengan tanpa adanya penghalusan bahasa, entah sengaja dibuat seperti itu agar sisi otentik buku tetap melekat atau memang ini murni kecerobohan dari penerjemah. Namun terlepas dari itu semua, keseluruhan buku ini sangat saya anjurkan untuk dibaca, terutama bagi kalian yang ingin mencari topik pembahasan tentang keadaan utopis, maupun lebih luas lagi tentang soal kritik sosial.

Demikian sedikit mengenai ulasan buku ‘Time Machine’ karya dari H.G. Wells. Semoga dengan kita giat menggalakkan gerakan membaca buku, maka kita bisa tahu bahwa keadaan negara kita sedang tidak baik-baik saja.

“Bacalah, bukan bakarlah” – Soesilo A. Toer.

Penulis: Ahmad Wahyu Mubarok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.