Ilustrasi (MERCUSUAR/Kholish)

Oleh: Najmuddin Kholish (Kadiv Litbang LPM Mercusuar 2019)

Dalam film The Young Karl Marx (2017) digambarkan kondisi kelas pekerja Inggris pada abad ke-19 akhir sangat buruk dengan jam kerja yang tinggi namun upahnya rendah. Salah satu buruh industri tekstil milik ayahnya Friedrich Engels, Mary Buns (diperankan oleh Hannah Steele), bahkan menolak ketika hendak ditambah jam kerjanya dan ia kemudian dipecat.

Salah satu tuntutan kelas pekerja yang masih dikoar-koarkan pada May Day tahun 2019 ini adalah pengurangan jam kerja menjadi hanya 8 jam. Dengan asumsi jika lebih dari itu akan berbahaya bagi kesehatan psikis maupun biologis pekerja. Versi brutalnya terdapat dalam artikel milik Tirto mengisahkan tragedi bunuh diri Matsuri Takahashi, seorang karyawan periklanan di Tokyo akibat kerja lembur selama 105 jam per bulannya.

Mari berefleksi sejenak. Sebagai seorang mahasiswa yang memutuskan untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan (ormawa) di Universitas Airlangga sudahkah kita terhindar dari kerentanan-kerentanan seorang pekerja proker? Sudah sehatkah sistem kerja organisasi kita?

Tentu saja sebagai individu yang memperkerjakan diri kepada suatu organ, mahasiswa juga bisa dikategorikan sebagai seorang pekerja, seorang pengabdi proker, atau bahkan budak yang tidak merasa diperbudak? Mari bertanya kepada diri sendiri sejenak.

Tuntutan utama dari seorang mahasiswa adalah untuk kuliah dan belajar. Meskipun dengan berorganisasi juga merupakan ‘belajar’ itu sendiri, tetap harapan dari orang tua atau wali kita adalah kita mengikuti kelas-kelas dan memperoleh ilmu di dalamnya. Tetapi beberapa mahasiswa memutuskan untuk mengikuti ormawa-ormawa dengan harapan mendapat tambahan ilmu.

Kemudian dengan dalih ‘ingin belajar’ yang terlalu melenakan ini, kita memutuskan untuk tunduk dan menuruti kemauan organ yang memperkerjakan kita tersebut tanpa mempertimbangkan hak-hak pribadi kita sendiri. Semisal rapat yang sampai pagi meskipun pukul 07.00 pagi ada kuliah, batas tenggat waktu naskah proker yang mepet meskipun berbarengan dengan tugas kuliah pada hari yang sama, dan segala perbudakan-perbudakan lainnya yang belum penulis ketahui.

Kepada teman-teman sekalian, marilah tuntut organisasi kita menjadi organisasi yang sistem kerjanya sehat. Apakah kita harus menunggu tragedi Matsuri Takahashi terjadi di kampus kita terlebih dahulu agar sadar betapa pentingnya hak kita dipenuhi? Penulis harap tidak.

Sebagai penutup izinkan penulis mengutip Marx dan Engels dengan sedikit plesetan.

“Pekerja proker se-Unair, sadarlah!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.