Suasana pemutaran film Sexy Killers dan diskusi di kantor LBH Surabaya, Jl. Kidal, Jumat (12/4) malam (MERCUSUAR/Faisal)

Reporter: M. Faisal Javier Anwar

“Dulu sebelum ada bangunan batu bara, sawah tidak rusak, tidak amburadul,” teriak seorang warga. “Sekarang sejak ada tambang, rakyat kecil malah sengsara. Yang enak, rakyat yang besar, ongkang-ongkang kaki terima uang. Kalau kita terima apa? Terima imbasnya, lumpur (dari tambang).”

Kemarahan warga tersebut merupakan cuplikan film dokumenter Sexy Killers produksi Watchdoc yang diputar di kantor LBH Surabaya, Jumat (12/4) malam. Sexy Killers merupakan film ke-12 dari perjalanan keliling Indonesia, Ekspedisi Indonesia Biru yang dilakukan dua jurnalis videografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta. Berdurasi sekitar 88 menit, film ini mengungkap penderitaan masyarakat di beberapa tempat di Indonesia akibat industri batu bara.

Film diawali adegan intim sepasang kekasih menikmati bulan madu di sebuah kamar. Anda mungkin akan membayangkan, apakah film ini merupakan film dewasa. Kamera selanjutnya malah menyorot alat elektronik yang digunakan sepasang kekasih tersebut, disertai tulisan jumlah tenaga listrik yang dibutuhkan per alat. Film berlanjut pada kisah warga di Kalimantan Timur yang hidup berdampingan dengan tambang batu bara.

Masyarakat yang hidup berdampingan berpuluh tahun lamanya dengan tambang batubara di Kalimantan Timur menyimpan kisah-kisah nestapa. Mulai dari pencemaran air bersih, kriminalisasi karena dianggap mengganggu operasional tambang, struktur rumah rusak dan jalan ambles akibat aktivitas tambang, hasil pertanian yang menurun, hingga harus kehilangan anak lantaran tewas tenggelam di lubang bekas tambang yang dibiarkan begitu saja tanpa diuruk kembali.

“Itu yang terjun (ke lubang bekas tambang) masyarakat! Mana orang perusahaan?” teriak seorang perempuan dengan emosi. Kamera kemudian menyorot orang-orang sedang menggotong mayat anak kecil yang tewas tenggelam di lubang tambang.

Narator film menyebut, antara tahun 2011-2018 terdapat 32 jiwa melayang di Kaltim akibat tenggelam di lubang bekas tambang. Di level nasional, selama tahun 2014-2018 terdapat 115 korban tewas akibat lubang bekas tambang.

Di Kalimantan Timur terdapat 3.500 lubang bekas tambang. Sesuai aturan, seharusnya tambang berjarak minimal 500 meter dari permukiman, namun faktanya justru banyak tambang yang melanggarnya.

Ketika ditanya terkait berjatuhannya korban akibat lubang tambang, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor pun menjawab, “Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin. Korban jiwa itu di mana-mana terjadi. Ya namanya nasibnya dia, meninggalnya di kolam tambang. Kan gitu. Gitu saja, prihatin.”

Di kesempatan lainnya, Isran yang dikerubungi awak media memberi jawaban berbeda. “Mungkin (lubangnya) ada hantunya, ya,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Rantai Kerusakan Industri Batu Bara

Sexy Killers mengungkap ternyata tidak hanya warga sekitar tambang batubara di Kalimantan Timur saja yang menderita, namun juga mereka di beberapa daerah lain yang tinggal di sekitar PLTU ataupun alur pelayaran tongkang pengangkut batubara.

“Kami di Walhi, enggak ada (istilah) hulu-hilir, tapi rantai kerusakan. Pengajuan izinnya enggak beres, mengambil lahan sewenang-wenang, masyarakat sekitar yang harus menanggung kerusakan ekstraktif itu,” pantik Rere Christanto dari Walhi Jatim pada sesi diskusi pasca pemutaran film.

suasana diskusi pasca pemutaran film dengan pemantik Rere Christanto (Walhi Jatim) dan Moh. Soleh (LBH Surabaya). (MERCUSUAR/Faisal)

Kisah penderitaan akibat industri batubara dalam film tersebut pun beragam. Di Kepulauan Karimunjawa yang menjadi alur pelayaran tongkang batu bara, tangkapan ikan nelayan tradisional berkurang akibat kerusakan terumbu karang oleh jangkar tongkang batu bara dan pencemaran tumpahan batu bara.

Sedangkan di beberapa daerah lain tempat berdirinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), masyarakat harus menghadapi beberapa konsekuensi. Mulai dari ancaman penyakit saluran pernapasan akibat polusi, menurunnya hasil pertanian dan perikanan akibat pencemaran, hilangnya lahan pertanian, hingga ancaman kriminalisasi akibat menolak menjual lahan ke perusahaan.

“Nek PLTU berdiri, anakku arep digowo mblayu ngendi? Wis ora ono maneh tempat Indonesia, Pak. Goro-goro wong sing pinter kuwi, gununge didol. Segoro arep ditanduri wesi, dienggo PLTU (Kalau PLTU berdiri, anakku mau dibawa kemana? Indonesia sudah tidak ada tempat, Pak. Karena orang pintar, gunung dijual, laut mau ditanam besi, dibangun PLTU),” gerutu seorang nelayan dalam bahasa Jawa sambil menepuk dada menahan rasa amarah dalam cuplikan film. Ia merupakan salah satu warga terdampak PLTU Batang, Jawa Tengah, yang diklaim sebagai PLTU terbesar se-Asia Tenggara.

Dampak negatif yang mengorbankan warga sekitar industri batu bara merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk kebutuhan listrik jumlah besar di tempat tertentu. “Kebutuhan listrik ruas Jalan Thamrin-Sudirman di Jakarta setara dengan penggunaan listrik satu provinsi Kaltim. Kemudian, penggunaan listrik di Jabodetabek 5.000 MW, setara dengan penggunaan energi (listrik) seluruh Pulau Sumatera,” tutur Rere.

Dengan rencana pemerintah membangun pembangkit berkapasitas 35.000 MW, tentu batu bara masih jadi andalan untuk menghasilkan tenaga listrik di Indonesia. Apalagi, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan listrik dengan batu bara paling murah dibanding sumber energi lain. Cukup Rp 600,- untuk 1 kwh.

Masalahnya, biaya murah tersebut tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya. Biaya murah justru karena dampak yang ditimbulkan dari industri batu bara dibebankan begitu saja kepada masyarakat. Seperti lubang bekas tambang di Kalimantan Timur yang dibiarkan tanpa diuruk kembali atau minimal ditutup dengan papan seng, atau limbah sisa pembakaran batu bara di PLTU Mpanau, Palu, Sulawesi Tengah, yang hanya dibiarkan begitu saja di tanah terbuka dan ditutupi terpal, untuk kemudian ditumpuk dengan limbah baru. Padahal limbah batu bara tergolong dalam limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

“Biaya batu bara itu enggak murah juga, biaya kesehatannya sangat mahal,” tutur M. Soleh, pengacara LBH Surabaya sekaligus salah satu pemantik diskusi.

“Batu bara itu kan panas, sebelum diangkut ya harus disiram air dulu, kan. Itu yang menyebabkan pencemaran air tanah. Belum lagi debu-debu dari tongkang,” lanjutnya. Soleh kemudian mencontohkan pengalaman warga Lakardowo, Mojokerto yang menderita akibat pencemaran air tanah dan udara akibat limbah B3.

Sexy Killers mengutip hasil penelitian Greenpeace dengan Universitas Harvard, bahwa estimasi kematian dini akibat polusi PLTU di Indonesia dapat mencapai 6.500 jiwa per tahun.

Tambang Batu Bara dalam Perpolitikan

Di balik penderitaan masyarakat akibat industri batu bara, banyak industri batu bara justru dimiliki orang-orang di balik dua paslon Pilpres 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

“Semuanya merujuk pada satu hal, (yakni) oligarki. Tidak ada satupun kandidat yang tidak dibiayai oleh kerusakan ini. Dan ini tidak hanya di pemilihan presiden, tapi juga pemilihan legislatif,” jelas Rere.

Sexy Killers menelanjangi keterlibatan mereka yang bertarung dalam Pilpres 2019 dalam industri batu bara. Di paslon Jokowi-Ma’ruf, terdapat nama Luhut Panjaitan, Fachrul Razi, Suaidi Marasabessy, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Harry  Tanoesoedibjo, Andi Syamsudin Arsyad, Oesman Sapta Odang, dan Wahyu Sakti Trenggono. Sedangkan di paslon Prabowo-Sandi, terdapat nama-nama seperti Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Hashim Djojohadikusumo, dan Hanifah Husein, istri dari Direktur Relawan BPN Ferry Mursyidan Baldan.

Sekalipun mereka bertarung memperjuangkan paslon masing-masing, nyatanya beberapa dari mereka justru mesra soal bisnis tambang batu bara. Sandiaga Uno pernah bersama dengan Garibaldi Thohir (kakak Erik Thohir, Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf) mengelola anak perusahaan Saratoga Investama Sedaya milik Sandi, yakni Adaro Energy. Tidak hanya itu, saham Saratoga Investama Sedaya pun kemudian dibeli oleh PT. Toba Sejahtera milik Luhut Panjaitan.

Tak ketinggalan, peran KH. Ma’ruf Amin pun ikut dikulik. Sebagai Ketua Dewan Syariah Nasional MUI, ia berperan pula dalam memberi ‘stempel’ syariah bagi saham-saham milik beberapa perusahaan batu bara besar di Indonesia.

Di luar Pilpres, ternyata juga banyak pensiunan perwira tinggi TNI dan Polri yang berkiprah dalam perusahaan-perusahaan tambang batu bara.

Menghadapi fakta tersebut, Rere menyarankan agar peserta jangan menjadikan pemilu sebagai solusi permasalahan. “Problemnya bukan di golput atau pemilu, bahwa seolah-olah pemilu adalah kunci jawabannya, bahwa seolah-olah kekuasaan itu kunci atas permasalahan. Ya, jangan serahin nasib sama pemilu. Kalau mau nyerahin hidup sama pemilu, ya enggak ada apa-apanya,” tegas Rere. Rere juga menyerukan pengorganisiran komunitas dalam menghadapi kerusakan lingkungan sistematis hari ini.

Solusi dan Perlawanan

Rere menyebut bahwa selama ini terdapat salah kaprah soal kampanye lingkungan dengan gerakan mematikan listrik, yang marak di berbagai kota di Indonesia. “Tanggung jawab konsumen itu mitos. Kampanye mematikan listrik itu baik, tapi enggak berdampak apa-apa. PLTU itu dibayar bukan berdasarkan penggunaan kita, namun mereka dibayar berdasarkan jumlah produksi mereka. Jadi, mereka produksi segitu, mau dipakai atau enggak, ya terserah kita,” tutur Rere.

“Perspektif energi kita belum berkeadilan, karena sentralisasi masih kuat. PLN masih memegang peranan utama. Rencana listrik sampe 2029 itu kebanyakan masih mengandalkan batu bara,” lanjutnya.

“Kenapa harus memunculkan sumber-sumber energi baru kalau sudah surplus rasio elektrifikasi, sementara ada daerah lain yang masih kekurangan listrik. Apakah semua wilayah harus dimasuki listrik? Tidak ada jawaban tunggal atas permasalahan ini,” tegasnya. Rere menyebut, bahwa pengelolaan sumber energi alangkah lebih baik dialihkan ke komunitas-komunitas masyarakat untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Soleh menambahkan, konversi sumber energi listrik dari batu bara ke energi alternatif lainnya bukan tanpa potensi masalah. Ia mencontohkan tenaga geothermal yang banyak menyedot sumber air pegunungan jika dioperasikan secara besar-besaran.

Sexy Killers tidak hanya menelanjangi kisah pilu drama pertarungan elite di atas penderitaan rakyat akibat tambang batu bara. Film ini juga mengangkat kisah Gung Kayon, warga Bali yang memanfaatkan tenaga sinar matahari untuk menghasilkan listrik. “Jika perlu negara mensubsidi bunga kredit panel surya,” ujar Gung Kayon.

Masyarakat pun tidak selalu digambarkan tertindas dalam Sexy Killers. Perlawanan pun dilakukan, mulai dari unjuk rasa, hingga kisah Ketut, pemuda sebuah desa dekat pertambangan di Kalimantan Timur yang menjadi sarjana hukum untuk membela warga desa. Ia didorong pengalaman masa kecil ketika ayahnya dipenjara lantaran dianggap mengganggu operasional tambang.

Tak hanya itu, perlawanan juga disokong komunitas lingkungan internasional, Greenpeace. Dalam cuplikan film, setelah aksi damai bersama para nelayan lokal di perairan dekat PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, awak Greenpeace dengan kapal layar Rainbow Warrior,  menuju Karimunjawa yang terancam oleh tongkang-tongkang batu bara perusak lingkungan. Salah satu awak Greenpeace kemudian meminta tongkang-tongkang yang membuang jangkar di perairan lepas Karimunjawa untuk keluar. Tidak cukup, awak Greenpeace bersama para nelayan lokal pun melakukan aksi damai dengan mengecat lambung tongkang-tongkang yang masih membandel.



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.