Oleh:Luqman Saputro

Pada tanggal 7 Februari 2019, Lembaga Pers Mahasiswa Mercusuar menerbitkan tulisan di laman daringnya yang cukup menarik. Tulisan yang berjudul “Apa yang Harus Diketahui dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” inilah yang mendorong penulis untuk turut berujar.

Terdapat bagian dari rilis berita tersebut yang membuat nalar penulis tergelitik. Mercusuar melaporkan bahwa Galuh Teja Sakti, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga, memberi label Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) sebagai RUU Free Sex. Melalui fitur instastory, Galuh mengumumkan sayembara menulis esai berhadiah tiket VIP acara Catatan Najwa. Esai yang ditulis, pinta Galuh, harus bertemakan RUU Free Sex. Selang 30 menit kemudian, ia “meralat” story sebelumnya dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan RUU Free Sex adalah RUU-PKS.

Untuk menunjukkan apa yang bermasalah dari pernyataan Galuh tersebut, penulis memaparkan sejumlah asumsi mengenai niatan maupun dasar dari ucapan tersebut.

Ujaran tersebut jelas bukanlah selip kata. Ralat yang dilakukan oleh Galuh justru menegaskan pandangan pribadinya mengenai RUU-PKS. Penulis sepakat dengan deduksi Mercusuar yang menuliskan bahwa Galuh senada dengan Maimon Herawati. Dosen Prodi Jurnalistik Universitas Padjajaran tersebut memandang RUU-PKS sebagai sarana melegalkan perbuatan zina. Dengan mempertimbangkan rekam jejak sebelumnya, penulis berpendapat bahwa pandangan Maimon tersebut berhaluan konservatif.

Perihal alasan yang mendasari pendapat Galuh, hingga artikel ini ditulis masih belum ada penjelasan tertulis untuk mengklarifikasi ujaran tersebut. Namun dari pola yang penulis sebutkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pandangan Galuh tersebut didasari oleh spektrum preferensi
politik pribadinya. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapatnya yang serupa dengan Maimon.

Menurut asas kebebasan berekspresi, Galuh tidak bermasalah. Bebas baginya untuk berpendapat seperti demikian meskipun tidak semua orang seiya sekata dengan Galuh.

Namun pandangan tersebut menjadi masalah apabila melihat latar belakang pendidikan yang ia enyam. Merujuk pada biodata singkatnya, Galuh menuliskan dirinya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum. Latar belakang pendidikan menjadi hal penting yang penulis bahas di sini. Sebagai penstudi ilmu hukum, seyogyanya ia dituntut untuk mampu menganalisis isu-isu RUU-PKS dari segi legal formal. Galuh mengemban tanggung jawab ini karena ia menjabat sebagai Ketua BEM Unair. Dengan posisinya, ia jelas harus cermat dalam berpendapat.

Sayangnya, alih-alih menggunakan kacamata penstudi hukum, Galih justru menggunakan kacamata politik dalam memandang RUU-PKS. Itupun terasa dangkal karena ujaran yang dilontarkan sekelas tulisan buzzer politik. Singkat dan tidak jelas juntrungannya ke mana. Ujung-ujungnya justru menggiring ke arah yang menyesatkan.

Sebagai bahan analisis, semua orang yang memperhatikan isu RUU-PKS (tidak hanya Galuh) bisa mengunduh dan membaca naskah draf RUU PKS (tertera di bagian referensi). Dari draf tersebut, fokus utama dari RUU-PKS adalah untuk mencegah terjadi Kekerasan Seksual, menangani, melindungi dan memulihkan Korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak
terjadi keberulangan Kekerasan Seksual (BAB I Pasal 1 draf RUU-PKS). RUU ini dibutuhkan mengingat bahwa penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia selama ini masih belum memiliki kepastian hukum yang rinci.

Sementara itu, kelompok yang anti RUU-PKS berargumen bahwa RUU tersebut memberikan ruang untuk memperbolehkan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan. Pernyataan tersebut disanggah oleh LBH Masyarakat yang menyatakan bahwa perkara zina sudah diatur dalam
KUHP Pasal 284.

Lebih lanjut, sejumlah miskonsepsi mengenai RUU-PKS sebenarnya telah dibahas oleh Komnas Perempuan dalam dokumen “Miskonsepsi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme”. Secara ringkas, dikatakan bahwa fokus dari RUU-PKS adalah pencegahan, penanganan, penindakan, dan menciptakan lingkungan bebas kekerasan
seksual.

Dengan kata lain, tudingan RUU-PKS sebagai RUU Free Sex adalah salah sasaran. Penulis menganggap bahwa ujaran tersebut merupakan ujaran ceroboh dan menunjukkan tidak adanya kemauan untuk menganalisis isu RUU-PKS secara teliti.

Semoga Saudara tergerak untuk menggunakan hak jawab demi menghindari asumsi-asumsi liar.

Referensi:
http://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/2018/Tulisan%20Tulisan/Miskonsepsi%20ter
hadap%20RUU%20Penghapusan%20Kekerasan%20Seksual_Tulisan%20Mariana%20Amiruddi
n.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.