oleh: Lafran (FISIP 2016)

Puisi Ibu Indonesia yang dibacakan oleh putri Bung Karno, Sukmawati telah menyebar dan sukses menimbulkan perdebatan pada masyaraka khususnya pengguna sosial media. Banyak pandangan-pandangan yang menyiratkan jika Sukmawati telah melukai hati umat Islam Indonesia, Sukmawati dengan puisinya memecah kesatuan bangsa, permainan politik, dan sebagainya yang menyudutkan beliau.

Tetapi membaca puisi dari beliau memantik rasa nostalgia dan membawa saya pada ingatan tentang novel dari Achdiat K Mihardja yang berjudul ‘Atheis’. Tentu sudah umum dan disepakati jikalau karya sastra adalah sarana atau alat sastrawan untuk membagikan apa yang ditangkap oleh kacamata nya terkait suatu fenomena atau kondisi sosial masyarakatnya.

Dan dalam novel ‘Atheis’ Achdiat menggambarkan pergulatan ideologi antara atheis dengan theis, antara komunisme dengan kapitalisme.Tokoh utama yang dimunculkan oleh beliau membawa semua pergulatan itu pada alur hidupnya selepas ia sudah memiliki pekerjan  dan sedang dalam fase gamang dalam hidupnya. Achdiat kerap menggambarkan pertentangan ideologis secara vulgar dengan menyebut agama tertentu karna memang setting background tokoh utama yang dimunculkan adalah beragama Islam. Yang memang pada zaman beliau menulis novel itu latar belakang sosial masyarakatnya sedang berkutat dengan isu ideologis.

Sedangkan masyarakat Indonesia sekarang sedang pada titik sensitif terkait isu SARA yang semakin diblow up oleh narasi yang dikonsumsi masyarakat lewat media yang diperparah selama masa pilkada DKI Jakarta. Walaupun itu bukan satu-satunya faktor masyarakat menjadi sensitif terkait isu SARA itu sendiri. Masih ada problem struktural, kesenjangan, dan lain sebagainya.

Dan yang menarik adalah statement klarifikasi Sukmawati yang berpendapat bahwasannya ia sebagai budayawan melihat kondisi Indonesia sekarang seperti yang digambarkan dalam puisinya. Ide utamanya bukan tentang mengkomparasikan Islam, adzan, hijab, cadar dengan kidung, konde, dan seterusnya tetapi pandangan beliau yang mencoba mewakili masyarakat yang tidak mengerti syariat Islam. ‘Saya budayawati yang mencoba menyelami pikiran masyarakat Indonesia yang kurang mengerti syariat Islam seperti di Indonesia Timur, Bali dan sebagainya.’ Ucapnya dalam statement klarifikasi yang dimuat di media ViVa pada tanggal 4 April 2018.

Penafsiran saya pada puisi Sukmawati adalah rasa keprihatinan beliau terkait jati diri bangsa yang semakin luntur. Anggapan ini masih bisa diperdebatkan  jika yang terjadi selanjutnya rasa keprihatinan beliau justru menimbulkan potensi konflik dan perpecahan dalam masyarakat.

Fungsi sastra memang untuk menyalurkan gagasan, kesubjektifan, dan perasaan menurut Sapardi Djoko Damono dalam bukunya yang berjudul Bilang Begini Maksudnya Begitu. Dalam ironi inilah sebenarnya terletak inti puisi: bilang begini maksudnya begitu (Damono, 2015). Ruang demokrasi yang membuka pintu kebebasan bagi masing-masing orang untuk berpendapat, berargumen, saling melemparkan kritik, dan tidak ada penafsiran tunggal. Dalam artian setiap orang, kelompok bisa bebas bereaksi dengan penafsiran masing  masing walaupun terkadang ada yang diluar akal sehat.

Ketika sastra ditujukan untuk menuangkan gagasan, akan muncul konsekuensi jika gagasan itu akan sampai kepada dan dikonsumsi oleh beberapa orang, bahkan juga masyarakat luas. Dan gagasan itu akan tercerna oleh pemikiran tiap orang yang berbeda sesuai tingkat pendidikan, minat literasi, latar belakang budaya dan lain sebagainya.

Dalam sejarahnya sastra telah digunakan sebagai alat kritik dan pemberontakan kepada rezim yang otoriter, sastra menjadi prasasti yang mengkristalkan satu momen untuk dikenang dan dimaknai. Sastra juga menjadi teman lelaki yang sedang rindu pada kekasihnya atau sebagai ruang pelarian ketika diputus cintanya. Di negara kita yang berbingkai demokrasi penting kiranya dalam bersastra kita memakai etika demokrasi. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain, sastra tidak seharusnya menjadi alasan perpecahan dan juga penyebab kebencian tumbuh menggerogoti kehidupan demokrasi kita.

Tulisan ini sebenarnya hanya untuk mengantarkan satu pertanyaan penutup. Jika karya sastra yang dibacakan oleh Sukmawati sebagai tokoh masyarakat mendapat berbagai kecaman menuai makian dan sarat kritik, dan itu muncul dari berbagai orang yang berbeda tingkat pendidikan, minat literasi, latar belakang budayanya. Lantas salah siapa hingga timbul potensi perpecahan yang disebabkan pemaknaan puisi beliau tersebut.

Apakah salah beliau yang menurut uraian saya kurang memahami kondisi sosial psikis masyarakat sendiri? Atau salah masyarakat Indonesia dengan minat literasi yang menurut UNESCO (2017) dari 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 negara dengan tingkat minat literasi terendah sehingga belum maksimal dalam memaknai dan mengapresiasi karya sastra. Salah negara (pemerintah) kah yang gagal mengelola dan meminimalisir potensi perpecahan atau salah sastra itu sendiri?

One thought on “Atau Salah Sastra Sendiri?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.